Bab 1

58 5 0
                                    

Hawa dingin menyelubungi Kota Marseille, tubuhku yang ditutupi winter coat masih saja terasa membeku. Entah kenapa dingin itu tetap terasa, bahkan aku sudah melapisi badanku dengan empat kaos sekaligus, tetap saja dingin menusuk tulang. Aku mengembuskan nafas panjang, uap nafasku terlihat jelas, menandakan aku benar-benar kedinginan. Sekarang memang sudah memasuki musim dingin di Prancis, dan musim yang menjadi musuhku selama bekerja disini.

Sudah tujuh tahun aku tinggal di Marseille, meninggalkan jauh Kota Jakarta dengan segala cerita hidupku disana. Tetap saja, setiap musim dingin datang, aku sering ingusan karena tidak tahan dengan suhu dingin disini. Sebenarnya aku ingin malas-malasan di kamar hari ini, tapi tiba-tiba saja pimpinan di kantor memintaku untuk mengecek kapal pesiar baru milik perusahaan yang baru bersandar di Vieux Port, atau orang juga mengenalnya dengan Old Port, pelabuhan tua yang terletak di ujung jalan La Caniebere, tepi Laut Mediterania.

Aku sudah memeriksanya tadi, lalu mengirim laporannya ke kantor. Saat aku ingin kembali ke rumah, gerimis tiba-tiba saja turun, memaksaku untuk mencari minuman hangat sejenak. Ya, setidaknya bisa menghentikan ingus yang membuat hidungku terus basah. Ini benar-benar membuatku risih, tapi mau gimana lagi, beginilah tubuhku yang baru memasuki usia 31 tahun. Sering ingusan saat suhu dingin menyergap.

Segelas kopi hitam hangat dibawakan oleh seorang pelayanan untukku. Aku mengucapkan terima kasih, kemudian mulai mencicipinya sedikit. Hangat, mampu mengusir hawa dingin untuk sejenak. Gelas keramik putih dan tadah yang digunakan terlihat kontras dengan hitamnya kopi di dalam gelas.

Aku membuka ponsel sejenak, melihat lagi pesan yang tadi dikirim ayah untukku. "Ibumu ingin bertemu, Lan." itulah isi pesan singkat yang membuatku termenung lama disini.

Sejenak aku membuang muka, ke pintu kaca kedai kopi tempatku duduk sekarang. Tampak buram oleh embun karena suhu dingin, membuatku malas untuk berdiri dan meninggalkan tempat minum ini. Tapi lihatlah orang Prancis itu, mereka santai saja berjalan dengan suhu dingin, di bawah gerimis ringan yang membungkus langit Old port. Membuatku geleng-geleng kepala, bertanya dari apa kulit mereka terbuat sehingga sangat tahan dengan suhu dingin ini. Ah, tidak juga, badanku saja yang sedikit demam, sehingga merasa dingin berlebihan.

Ponselku berdering di dalam winter coat-ku, lekas kuambil dan terlihat nama Sheria disana. Dia adalah pimpinanku di kantor, dia juga anak pemilik perusahaan tempat aku bekerja. Sejak sembilan tahun lalu aku melangkah pergi dari Indonesia, kuliah S2 di Bradfort, lalu mencari pekerjaan sana sini, hingga akhirnya aku diterima di sebuah perusahaan perkapalan yang mengelola kapal kargo, kapal peti kemas dan kapal pesiar. Sejak saat pertama kali bekerja, aku sudah kenal dengan Sheria yang menjadi rekan kerjaku.

Saat aku masuk ke perusahaan ini tujuh tahun lalu, Sheria bekerja sebagai manager bagian pengawasan kapal, dan aku sebagai stafnya yang selalu mengecek keadaan kapal kami yang bersandar di pelabuhan. Bertahun-tahun bekerja, sekarang Sheria sudah menjadi staf Chief operations officer, Sheria yang suka dengan kinerjaku, memintaku untuk menjadi asistennya. Aku tentu tidak menolak, toh gajinya juga jauh lebih besar daripada staf manager.

Aku mengangkat panggilan dari Sheria,

"Bonjour, Sheria!" sapaku dengan hangat, dia tertawa tipis yang dapat terdengar dari seberang panggilanku.

"Bagaimana, Alan? Kamu sudah mengecek kapal pesiar itu?"

"Sudah, aku sudah mengirim laporannya ke kantor."

"Ok, sekarang kamu dimana? Kata Pierre kamu belum kembali ke apartemen."

"Disini lagi gerimis, Sheria, pekerjaan ini bukan tugasku, kamu seharusnya menyuruh staff bagian pengawasan kapal pesiar untuk mengecek langsung kapal itu." Aku memprotes dengan nada sedikit menekan.

Trauma Yang Membayangi (TAMAT)Where stories live. Discover now