Bab 12

10 1 0
                                    

Seraya menikmati mewahnya kamar hotel kelas premier di Marina Bay Sands Singapura, aku teringat kembali pada masa lalu yang menyakitkan itu. Setelah Ayah dan Ibu bercerai, semuanya terasa berubah. Ibu menjual mobil kijang merah Ayah untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku yang masih sering bertanya soal Ayah hanya bisa gigit jari mendengar jawaban Ibu. Ayah akan pergi lama mengurus pekerjaan. Ibu menyuruhku untuk lebih mandiri, dan membiasakan diri tanpa kehadiran Ayah.

Sejak kepergian Ayah juga, aku tidak pernah mengunjungi Nenek lagi di Banjarnegara selama beberapa bulan. Ibu juga mulai mencari pekerjaan untuk melanjutkan hidup. Aku sudah mulai sekolah di TK, pulang sekolah, aku selalu bermain di rumah tetangga—Tante Dian hingga Ibu pulang, dia juga punya anak seusiaku, perempuan—namanya Nisa. Masa-masa itu sungguh berat rasanya, saat melihat teman-temanku yang diantar ayah mereka untuk bersekolah, sementara aku diantar oleh tetangga, karena Ibu sudah pergi ke kantor sejak pagi sekali.

Pulang dari TK pun juga sama, teman-temanku yang lain dijemput oleh orang tua mereka, tapi aku dijemput oleh Tante Dian. Ayah, aku merindukannya, ingin dia yang mengantar dan menjemputku ke TK. terkadang aku menangis, meneteskan air mata melihat temanku mencium tangan ayahnya, lalu ayah mereka mengecup kening mereka dengan penuh kasih sayang. Teringat Ayah yang dulu selalu peduli denganku, selalu membacakan dongeng-dongeng untukku setiap malam.

Pernah suatu ketika, saat guru di TK menyuruh kami bercerita tentang Ayah dan Ibu. Aku dengan bangga bercerita tentang Ayah. Laki-laki sukses penyayang keluarga, membacakan dongeng untukku sebelum tidur, memastikan aku menggosok gigi, mencuci tangan dan kaki sebelum naik ke ranjang. Laki-laki yang selalu menyayangi Ibu, selalu menyempatkan waktu untuk kami berliburan bersama setiap minggu.

Tapi semuanya hanya cerita masa lalu, saat seorang teman perempuanku yang rambutnya dikepang dua bertanya, "Kenapa ayahmu tidak pernah mengantar atau menjemputmu ke sini?"

Aku terdiam membatu, lengang untuk sejenak, kemudian menjawab seperti yang dikatakan Ibu.

"Ayah belakangan sibuk bekerja di kantor, dia dapat tugas ke luar kota untuk beberapa tahun."

Kemudian teman-teman yang lain hanya mengangguk, seolah mengerti. Pun juga saat aku bermain dengan Nisa di rumahnya, saat kami asyik bermain dengan bonekanya di ruang tamu. Bermain ala anak perempuan kebanyakan, rumah-rumahan. Kala itu Nisa bertanya,

"Kenapa Ayahmu tidak pernah terlihat lagi, Lan?"

Aku termenung sesaat, melihat Nisa yang tengah membelai rambut boneka barbienya. Nisa kemudian menoleh, menunggu jawabanku.

"Ayah sibuk, Nis." Aku tertawa menahan getir, "jabatan Ayah sedang naik di kantor, jadi sibuk betul di luar kota." Aku berkilah, dengan alasan yang sering Ibu berikan saat aku bertanya tentang Ayah.

Sementara Tante Dian yang tengah duduk di ruang tengah memperhatikanku dengan Iba. Aku mengabaikannya, memilih memandang Nisa, membuang semua rasa sedih, rindu, dan kalut yang membuat dadaku sesak.

Di balik itu semua, hanya rasa sakit akan rindu kepada Ayah yang tidak kunjung padam. Berkali-kali aku bertanya lagi kepada Ibu, jawabannya mulai berubah. Lupakan Ayah, karena aku akan memiliki Ayah baru yang lebih baik. Aku menolak, sungguh, kenapa Ibu tidak mengerti sama sekali akan perasaan sayangku kepada Ayah yang sangat besar. Aku marah memecahkan vas bunga ruang tengah seperti yang pernah Ayah lakukan. Membuat ibu mengomel penuh amarah. Aku tidak butuh Ayah baru, aku hanya ingin ayahku kembali ke rumah kami.

Sikap Ibu juga mulai berubah, dia sering marah-marah tak jelas saat aku bertanya tentang Ayah lagi. Terkadang menyuruhku masuk ke dalam dan melarangku bermain dengan Nisa di sebelah. Terkadang juga Ibu marah, mencabut kabel TV hingga aku tidak bisa menonton. Atau juga Ibu melampiaskannya dengan memasak makan malam yang tidak kusukai. Kata Ibu itu pelajaran untukku, bahwa membahas Ayah di rumah tidak diperlukan lagi, Ibu akhirnya berkata, Ayah tidak akan pernah kembali lagi.

Trauma Yang Membayangi (TAMAT)Where stories live. Discover now