Pagi pertamaku di Jakarta, semuanya terasa tak jauh berubah dari dua tahun lalu. Kemacetan dengan suara klakson yang bersahutan. Teriakan sesekali juga terdengar. Ini adalah santapan yang biasa bagi siapa pun yang selalu memulai hari paginya di jalanan Jakarta yang selalu sibuk. Matahari sudah bersinar terik, naik dari peraduannya di ufuk timur. Langit biru terlihat indah dengan awan putih tipis yang mewarnainya.
Aku membawa mobil Mama untuk bekerja selama di Jakarta. Tadi Dini menawarkan mobilnya, tapi Mia protes, dia ingin aku membawa mobil Mama, agar aku yang mengantar dan menjemputnya ke sekolah. Kalau aku pakai mobil Dini, aku malah mengantar jemputnya ke kampus, Mia tidak suka. Persaingan kakak adik, warna lain dari keluarga kecil kami. Ah, rasanya tidak nyaman mengatakan keluarga kami, aku merasa berada di luar keluarga kecil yang bahagia ini, karena tidak sedikit pun hubungan darahku dengan mereka.
"Kakak dulu sekolah di SMP-ku juga, kan?" tanya Mia bertanya dengan riang, ia asyik melihat gedung-gedung tinggi yang berbanding terbalik dengan pedagang kaki lima di depannya.
"Hmmm ... beda, Dek. Kakak dulu SMP di dekat rumah lama kita, Dini waktu itu masih kecil, kamu belum lahir bahkan."
"Oh, ya? Aku kok jadi penasaran ya sama rumah lama kita, pengen lihat isinya." Mia tersenyum manis, "tapi aku cuma melihat fotonya saja di kamar Mama."
Sejenak aku membelai rambut Mia dengan lembut. Gemas dengan tingkahnya yang polos. Anak yang besar dari keluarga yang harmonis akan bisa menikmati masa anak-anak dan remajanya seperti Mia tanpa beban. Berbeda dengan anak yang dari kecil sudah menahan banyak rasa sakit dan luka. Tekanan dari sekitarnya serta menahan semua kebencian orang-orang terdekatnya seperti diriku.
"Rumah kita dulu nggak sebesar sekarang, Dek. Cuma satu lantai, tapi walaupun sederhana, cukup membuat kita semua bahagia di dalamnya."
"Hehehe ... itu sudah pasti, Kak. Ayah sama Mama selalu bisa membuat suasana di rumah kita ceria. Mereka ter-the best-lah." Mia menunjukkan kedua jempolnya, menoleh kepadaku dengan percaya diri.
"Kamu benar, Dek. Mereka yang terbaik, terutama Ayah, dia selalu bisa membuat rumah kita selalu riang dengan segala masalah yang kita hadapi."
"Kapan-kapan kita ke rumah lama ya, Kak. Jadi pengen melihatnya langsung."
Aku mengangguk, memenuhi permintaan Mia, membuatnya seketika berseru riang. Aku membelai rambutnya lagi. Tersenyum haru, sungguh, delapan tahun yang kuhabiskan di luar negeri selama ini sudah banyak membuang waktuku untuk melihat Mia tumbuh menjadi remaja. Lihatlah, dulu saat aku pergi, dia masih berumur lima tahun. Masih manja, pipinya masih chubby, rambutnya dikepang dua, dijalin panjang. Masih berjalan kesana kemari membawa boneka beruang putih kesayangannya. Masih manja, bahkan ingusnya pun masih aku yang mengelapnya. Sekarang semuanya sudah berlalu, waktu-waktu dia tumbuh saat SD hingga remaja tidak bisa kunikmati.
Mobilku terus melaju di tengah ramainya jalanan. Aku harus melepas semua rasa ini sejenak, fokus dengan pekerjaanku di kantor, profesional dengan pekerjaanku.
***
Malam itu dengan segala rasa keterpaksaan, aku menuruti kata Ibu. Dengan tangis dan air mata yang membasahi pipi, aku melepas kamar tempatku dan Ayah sering menghabiskan waktu malam. Mengeluarkan pakaianku dari sana dan kebutuhan sekolah. Sisanya akan diurus Ibu besok siang. Aku menarik tas sekolah yang berisi buku pelajaran. Sementara Ibu membawa pakaianku yang lain. Ada kamar kosong di dekat dapur, biasanya digunakan Ayah untuk beristirahat siang. Itu jauh lebih baik, daripada aku sekamar dengan Ilham. Aku tak bisa tidur dengan orang baru yang tidak kukenal.
Kami menuruni tangga, melewati ruang tengah dan meja makan. Membuat Bapak dan ketiga anaknya seketika menoleh kepadaku dan Ibu. Sementara aku menatap Ana dengan geram. Lihatlah anak itu, dia dengan centilnya menikmati paha ayam yang seharusnya menjadi jatah makan malamku. Lihat juga Faiz dan Ilham, peduli pun tidak mereka denganku dan Ibu.
YOU ARE READING
Trauma Yang Membayangi (TAMAT)
RomanceAku menatap Mama lamat-lamat. Kemudian memegang tangannya. "Tujuanku menikah juga sama seperti Mama dan Ayah. Menghadirkan surga indah di rumah tanggaku, mendidik anak-anakku nanti dengan penuh tawa bahagia, menjadikan mereka orang yang bermanfaat...