Mobilku menembus jalanan malam Ibu kota. Aku berhasil membawa Dini keluar malam ini. Menipu Mia yang mungkin akan merajuk jika tahu kami pergi berdua. Untung saja Mama mau bekerja sama, membujuk Mia belajar buat kue di dapur, lalu aku dan Dini bisa pergi berdua. Aku beralasan pergi dengan Ratna, sementara Dini mengaku ingin ke acara temannya. Mia tadi tampak sedih, tapi ia berusaha memahami keadaan. Percaya kepadaku.
"Kakak hebat sekali bisa mengelabui, Mia. Padahal dia itu paling cerdas lho, sulit dikadalin," seru Dini di sebelahku.
Aku menoleh sejenak, menatap Dini yang tersenyum manis, merapikan rambut indahnya. "Kakak lagi pengen makan malam berdua denganmu, Din, jadi mau tak mau, Mia harus digusur dulu sebentar."
Dini tertawa lepas, menutup mulutnya dengan tangan kiri. Aku juga ikut tertawa tipis. Tak masalah juga, kan? toh nanti weekend aku juga akan menemani Mia jalan-jalan ke mall.
"Wah, ada angin apa nih? tiba-tiba ngajak aku makan malam, kemarin aku mau ke Singapura malah dilarang."
"Hei, kenapa yang kemarin dibahas? Kakak kan sudah bilang kalau Kakak cuma sebentar di Singapura," sergahku.
Dini mencibir manja, aku kembali fokus ke jalan.
"Truss, kenapa nggak jadi makan malam sama Kak Ratna-nya?" tanya Dini melanjutkan pembicaraan.
Aku mengembuskan nafas panjang. "Ratna ada rapat dadakan, Din. Jadi makan malamnya kami ganti ke hari lain saja, siapa tahu nanti dia juga mau menemani Kakak ke mall buat jalan-jalan dengan Mia," ujarku dengan asal.
"Rapat dadakan?" tanya Dini menyelidik.
"Iya, rapat dadakan, biasalah, pekerjaan. Kakak juga sering ada pertemuan dadakan soal pekerjaan."
"Dan Kakak percaya? Nggak curiga gitu?" Dini menekan nada suaranya, aku menoleh, menatapnya dengan bingung. Merasa ada yang aneh dengan sikap Dini ini.
"Maksudmu apa, Din?"
Dini mengembuskan nafas berat, melipat tangannya di depan dada. "Kita makan malamnya di tempat pilihanku saja, Kak. Ada menu baru yang pengen kucoba di sana, setelah itu kita ke pantai ya, Kak, sudah lama aku tidak menikmati suasana malam di pantai," tutur Dini mengalihkan pembicaraannya.
"Tunggu, kamu belum menjawab pertanyaan Kakak barusan," desakku yang penasaran dengan maksud ucapan Dini.
Kami hening, Dini membuang muka, seakan tidak mau membahas masalah ini lebih lanjut, wajahnya jelas menunjukkan ketidaksukaannnya kepada Ratna. Sementara aku mencoba menerka-nerka, apa maksud ucapannya.
Sungguh, sama sekali aku tidak pernah mengira hari ini akan terjadi. Ini baru hari ketigaku di Jakarta, tapi aku sudah mendapati sesuatu yang tak pernah aku inginkan. Adalah kafe pilihan Dini yang menjadi saksinya. Sebuah kafe mewah di selatan Ibukota. Aku memarkir mobil Dini di halamannya. Lalu kami segera masuk ke dalam.
Lampu warna-warni tersusun indah menghiasi pintu kafe tersebut. Muda mudi yang menjadi pengunjung kafe tersebut tampak menikmati suasana, ditemani alunan musik jazz dari live music yang ditampilkan di panggung kecil kafe tersebut. Aku belum pernah ke kafe ini, mungkin ini kafe yang baru di buka dua tahun belakangan. Suasana di dalam kafe tidak terlalu terang, karena cahaya fokus pada live music di panggung, namun kami dapat melihat jelas pengunjung kafe tersebut yang menikmati berbagai hidangan makanan.
Hingga Dini tiba-tiba berhenti berjalan, kemudian berbalik badan menahan tanganku. Wajahnya tampak cemas, dia gugup untuk bicara.
"Kenapa, Din?" tanyaku yang heran dengan tingkahnya.
"Kita cari kafe lain aja, Kak. Kayaknya disini penuh, deh. Kafe baru, jadi pengunjungnya ramai," ucap Dini dengan nafas menderu.
Aku menyipitkan mata, menoleh, memperhatikan seluruh pengunjung. Masih ada beberapa meja yang kosong. "Masih ada yang kosong kok, Din."
YOU ARE READING
Trauma Yang Membayangi (TAMAT)
RomanceAku menatap Mama lamat-lamat. Kemudian memegang tangannya. "Tujuanku menikah juga sama seperti Mama dan Ayah. Menghadirkan surga indah di rumah tanggaku, mendidik anak-anakku nanti dengan penuh tawa bahagia, menjadikan mereka orang yang bermanfaat...