Makan malamku dan Dini gagal, kami pulang larut malam, hampir pukul sebelas. Membuat Ayah yang tengah duduk di teras rumah menatap tajam ke arah mobil kami. Setelah selesai memasukan mobil ke dalam garasi dan Dini mengunci pintu pagar. Kami berdua naik ke teras rumah. Mencium tangan Ayah bergantian.
Sorot mata Ayah tajam dari balik kaca mata yang dikenakannya untuk membaca koran. Deru nafasnya terdengar tidak teratur, seakan tengah menahan emosi. Dini tampak berani menantang mata Ayah, sementara aku memilih menunduk. Ingat posisiku di rumah ini, sadar diri siapa aku. Itu jauh lebih baik daripada aku balas menantang mata Ayah yang tengah menahan emosi.
"Kalian tahu ini jam berapa?" tanya Ayah dengan nada tertahan.
Tadi aku terlalu menikmati suasana di pantai Jakarta, meredakan rasa sakit di dada. Hingga lupa bahwa waktu terus beranjak larut. Lapar pun kami tidak ingat, baru saat masuk kompleks perumahan lapar itu kembali terasa. Dini bilang akan masak telur dadar untuk kami makan malam. Jadi rencana makan malam di luar kami urungkan saja. Tapi melihat Ayah sekarang, membuat laparku hilang seketika.
"Maaf, Yah. Tadi Dini sama Kak Alan lupa waktu saat di pantai," jawab Dini dengan jujur.
"Pantai?" tanya Ayah menyelidik.
"Iya, Yah. Dini tidak suka makanan di kafe tempat kami duduk tadi, jadinya ngajak Kak Alan ke pantai, Deh." Dini bersuara tenang, percaya diri melindungiku dari amarah Ayah.
"Itu bukan alasan, Dini. Kamu itu perempuan, tidak seharusnya pulang selarut ini."
"Ini baru jam sebelas, Yah." Dini mengangkat tangan kirinya. Memperlihatkan jam tangan yang ia pakai, "lagi pula Dini perginya sama Kak Alan, jadi ada yang jagain Dini."
Kali ini aku memberanikan diri mengangkat kepala. Melihat Ayah yang mengurut keningnya yang mulai keriput. Wajahnya tampak resah, tidak tahu apa sebabnya. Apa Ayah tidak percaya bahwa aku bisa menjaga Dini? Ah, mana mungkin, atau Ayah takut aku keceplosan dan membuka semua yang kami rahasiakan dari Dini dan Mia?
"Tetap saja, Dini. Ayah tidak tenang jika kamu di luar rumah sampai selarut ini," ucap Ayah dengan menahan diri.
Dini tersenyum dia memegang tangan Ayah dengan lembut. "Ayah ini berlebihan aja, Dini perginya sama Kak Alan, bukan laki-laki lain, udah ah, Dini mau ke dapur dulu, tadi belum jadi makan malamnya."
Ayah membuang nafas panjang, melihat sejenak kepada Dini yang berlalu masuk ke dalam rumah. Aku mengusap tengkukku yang tak gatal, bingung harus bicara apa sama Ayah. Membela diri? Astaga, baru semalam kami bicara serius tentang masalah kami berdua, sekarang aku malah lupa waktu membawa anak gadisnya yang cantik hingga larut malam seperti ini.
"Maaf, Yah. Aku lupa waktu," ucapku dengan hati-hati.
"Kamu bilang mau ketemu Ratna, kenapa malah ngajak Dini jadinya?" tanya Ayah tanpa basa basi.
Aku menelan ludah, teringat kejadian saat di kafe tadi. Membawa ingatanku ke masa lalu. Saat dimana Ibu menyakiti hati Ayah, merusak semua kebahagiaanku.
"Ratna ada rapat mendadak, Yah. Jadi, daripada bosan, aku ajak Dini makan di luar." Aku menggigit bibir, melihat Ayah yang menghirup nafas panjang untuk menenangkan diri.
"Dini tahu semuanya, Lan. Dia tahu kalau kamu bukan Kakak kandungnya, bukan juga kakak tirinya ...."
"Tapi Kakak angkatnya," potongku tanpa beban, "Dini sudah cerita, Yah. Tapi dia tidak tahu sama sekali tentang Ayah, Ibu dan Aku."
"Dan jangan sampai dia tahu, Lan," lanjut Ayah sedikit emosional, "Ayah sudah berusaha menjaga keluarga ini sekuat yang Ayah bisa. Memberikan kebahagiaan untuk Mama agar kejadian dulu tidak terulang. Menjaga Dini dan Mia penuh kasih, serta terus berusaha menerima hadirmu. Ayah tidak tahu akan seperti apa Dini dan Mia kepada Ayah jika tahu semuanya."
YOU ARE READING
Trauma Yang Membayangi (TAMAT)
RomanceAku menatap Mama lamat-lamat. Kemudian memegang tangannya. "Tujuanku menikah juga sama seperti Mama dan Ayah. Menghadirkan surga indah di rumah tanggaku, mendidik anak-anakku nanti dengan penuh tawa bahagia, menjadikan mereka orang yang bermanfaat...