1. No Way: Jehan

58 3 0
                                        

.

.

Reminder!
Ini hanyalah sebuah cerita fiksi belaka. Terinspirasi dari sebuah trailer music video dengan berbagai kombinasi imaji. Cerita ini murni dari imajinasi dan pemikiran penulis.

Selamat membaca!

┌⌯━━━━━━━━━━⊰⍣⊱━━━━━━━━━⌯┐

.

"It's okay, you're not alone."

.

[1 : Jehan]

Kilauan jingga dari mentari pagi bagi sebagian orang adalah awal memulai hari dengan serangkaian kegiatan. Tanda akan hari baru, waktu yang terus maju, dan hal lainnya yang takkan pernah diketahui meski sudah diprediksi. Layaknya aktivitas sehari-hari, laki-laki berjaket tebal itu keluar dari rumah yang dihuni 12 orang laki-laki-termasuk dirinya. Sepatu olahraga kelabu gelap miliknya ia gunakan untuk melapisi telapak kakinya yang sebenarnya sudah terluka.

"Je, gak sarapan dulu?"

Laki-laki yang tadinya hendak melangkahkan kaki ke luar pintu utama rumah pun terhenti. Panggilan dari orang tertua di rumah itu mampu membuatnya menoleh sekejap guna menyapa. Laki-laki itu tersenyum simpul seraya menjawab, "Nanti aja, Kak. Mau lari dulu."

Tampaknya orang yang dijawab itu mengerti, ia mengangguk sekilas tanpa berniat menghentikan pemuda tadi lagi. Namun, si laki-laki yang ingin lari pagi tadi menoleh lagi ke arahnya, "Kak, nanti jangan bangunin Brian sampai dia bangun sendiri, ya?". Tanpa menjawab, kerutan di keningnya menandakan pertanyaan terkait itu. Lelaki itu pun melanjutkan lagi kalimatnya, "Jehan dengar, Brian pulang jam 4 pagi tadi. Kayaknya dari stasiun lagi, Kak."

Pria itu langsung paham apa yang dimaksud Jehan. Orang tertua dalam rumah itu lantas mengangguk merespon laki-laki yang bersiap keluar rumah. Dwi netranya menatap hangat berusaha menyemangati Jehan yang kini melongokkan kepalanya memandang langit jingga yang makin menguning sinarnya.

"Yaudah, Je. Semangat ya, jangan sampai kayak kemarin. Nanti sampai rumah harus makan, kakak ga mau kamu sakit lagi." Katanya menasehati adik nomor tiganya.

"Iya, Kak Saka. Jehan pergi dulu, ya."

Dalam senyumannya, laki-laki yang dipanggil Saka itu membatin 'tuk kesekian kalinya. Jehan, pemuda berusia 23 tahun itu diam-diam menyimpan banyak tekanan. Sebenarnya, pemuda itu memiliki ambisi yang kuat. Sangat kuat, tidak mungkin dirinya tetap pergi sepagi ini untuk latihan fisik berkedok 'jogging' meski sudah tidak bisa lagi mendaftar menjadi siswa akademi kepolisian. Berkali-kali Saka memintanya untuk berhenti keras terhadap dirinya sendiri, tetapi Jehan tetap bersikeras melakukannya.

Ia selalu bilang, "Kak, Jehan itu harus kuat. Jehan harus bisa buktikan ke mama sama papa kalau Jehan bisa masuk akademi kepolisian.". Dia pernah menangis saat Saka menghalanginya untuk lari mengelilingi stadion selama sepuluh kali. Faktanya, Jehan tidak kuat untuk terus melakukan latihan fisik yang terlalu keras.

Saka jadi ingat pertama kali ia menemukan Jehan. Pria itu hampir kehabisan napasnya setelah kelelahan berlari, wajahnya babak belur dengan luka sobek di pelipisnya. Baru setelah sadar di rumah sakit kala itu, Jehan mengaku pergi dari rumahnya yang jaraknya 40 kilometer dari pusat kota dengan berlari. Ia juga bercerita bahwa sempat dikeroyok beberapa preman di sekitar daerah tempatnya tumbang. Laki-laki itu malang, hingga saat Saka menanyainya tentang rencana untuk kembali berkumpul dengan keluarga, Jehan malah tertawa.

"Aku harus pulang kemana, Kak? Keluargaku di sini, keluargaku kalian. Kalian dukung apapun yang Jehan lakukan. Jehan gak akan diharapkan orang tua kembali kalau gak bisa jadi polisi."

Kenyataan mengatakan Jehan tidak bisa memiliki postur sempurna. Kelainan pada tulang belakangnya yang ia dapat sejak lahir membuatnya kaku untuk melakukan apapun. Otot-otot punggungnya sering menegang dan kerap kali nyeri dirasakan.

Kini, apalagi yang akan ia tunjukkan pada orang tuanya? Jehan tak mau kembali dengan membawa beban malu untuk keluarganya. Kerap kali ia merenungkan banyak hal, misalnya pagi ini. Otaknya terus memutar secerca memori dimana ibunya sering mengatainya tanpa memberikan solusi, ayah yang mengabaikan eksistensinya. Tepi pantai dengan deburan ombak, Jehan duduk di salah satu bangkunya. Bibirnya menggumam samar, "Yang aku lakukan bener 'kan?".

.

.

.

To Be Continued

Who's next?

No Way - TBZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang