Lena (Cahaya)

1.9K 159 31
                                    

Selamat datang di part terakhir dari cerita ini. Sekedar info, harap membacanya dengan tenang dan perlahan sehingga mengerti dan paham pada ceritanya, karena di part ini akan mengandung alur maju-mundur secara cepat. Happy reading! :)
















Efek dari obat itu membuat Zee jadi terkantuk, karena tubuhnya masih terasa lemah Ashel pun membantunya membawa Zee ke kamar. Setelah beberapa lama menunggu Zee tertidur, Ashel keluar dari kamar itu, dan bersamaan dengan itu terdengar suara ketukan dari luar pintu rumah.

"Selamat malam Ashel" suara laki-laki terdengar menyapanya setelah pintu di buka.

"Kak Cio, masuk kak" ucap Ashel.

"Zee mana?"

"Zee baru aja tidur. Silahkan duduk kak, tunggu sebentar aku ambilin teh panas untuk kakak ya" Ashel pergi ke dapur, menyiapkan secangkir teh panas untuk diberikan kepada kakak sepupu Zee tersebut.

"Tadi distimianya kambuh lagi, kak" ucap Ashel setelah meletakkan secangkir teh panas di atas meja, suara Ashel terdengar sedih.

Cio menyeruput teh panas itu untuk menghangatkan tubuhnya yang memang sudah merasa kedinginan akibat terpaan dinginnya salju malam, lalu matanya menatap ke arah kamar Zee. "Tapi keadaannya sekarang gimana?"

"Udah baikan, tadi udah minum obat. Mamanya tadi telepon, minta Zee pulang, tapi sepertinya Zee masih belum siap"

Cio menghembuskan napasnya panjang. "Lena udah tidur?" tanya Cio, dan dijawab anggukan oleh Ashel.

"Di sini memang bukan tempatnya, tante bener, dia harus pulang" ucap Cio, kemudian Ashel menatapnya.

"Anak itu..." Cio tersenyum miris, kepalanya menggeleng pelan sambil menatap teh panas di depannya. Cio mengetukan kuku jarinya beberapa kali di atas meja, sorot matanya seperti sedang mengenang sesuatu.

"Sepuluh tahun lalu dia datang ke sini, aku tahu bahwa kedatangannya bukan sekedar melanjutkan kuliahnya, dia punya maksud lain. Entah mengapa aku melihat hari-harinya dia lewati dengan berat hati, senyumannya terkesan dipaksakan, pandangannya selalu sayu" Cio menegakkan tubuhnya, beralih menatap Ashel yang sedari dulu sudah memandanginya.

"Jika sedang sendiri, dia selalu suka menghabiskan waktunya untuk memandang langit, seperti sedang berbicara dengan setengah hatinya yang tertinggal jauh di sana. Aku juga melihatnya selalu menunggu kabar dari seseorang melalui teleponnya, ia selalu tersenyum namun sedetik kemudian ekspresinya langsung berubah sedih, begitu seterusnya selama empat tahun" lanjut Cio. Di hadapannya Ashel jadi ikut teringat kenangan sepuluh tahun lalu saat Zee pamit kepadanya dan pergi begitu saja untuk ke Jepang.

"Suatu ketika satu kabar itu membuatnya memutuskan untuk pulang, aku bisa melihat kesedihan dan ketakutan secara bersamaan pada dirinya waktu itu". Ashel mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan sesak di dadanya. "Namun setelah kepergiannya, kita tetap saling bertanya kabar satu sama lain. Lamanya dua tahun dia di sana, kemudia dia mengabariku kabar yang bahagia. Aku masih bisa mendengar suaranya yang terdengar sangat bahagia memberitahukan kepada ku kala itu sekalipun aku tidak melihat wajahnya. Aku pun memutuskan untuk terbang ke Indo, dan benar saja saat itu aku bisa melihat dengan jelas anak itu kini tersenyum bebas, tidak ada lagi senyum yang dipaksakan. Dia sangat bahagia, hatinya penuh di sana" Cio jadi tersenyum, namun kembali menghembuskan napasnya panjang sebelum mulai berbicara kembali.

TIGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang