21. Pola Tersembunyi

420 54 5
                                    

"Yang Mulia?" Ajudan Raja Willys tergopoh-gopoh menyeimbangi langkah Rajanya yang dengan tangkas berlalu dari pintu perpustakaan kembali menuju ruang kerjanya.

Dua pelayan perempuan yang membukakan pintu tadi turut mengekspresikan kesedihan mereka dengan tulus menyaksikan bagaimana kakak-beradik Elfvyara berbaikan dengan sendirinya.

Disamping itu, perasaan Willys campur aduk. Tidak tahu harus berbuat bagaimana.

Melihat dengan mata kepalanya sendiri kedua anak-anaknya menderita, membuat Willys dipenuhi dengan rasa sesal yang menyeruak diseluruh jiwanya.

Meski dirinya dan Jeffrey kadang bisa bersikap selayaknya ayah dan anak seperti pada umumnya, Willys tidak tahu harus bagaimana berinteraksi dengan putrinya.

Putrinya, yang malang.

Tidak, Willys memang tidak layak disebut sebagai sosok ayah untuk Putrinya. Dia menyadari itu.

Dari yang Willys asumsikan, Putrinya tidak pernah sekalipun berkeinginan untuk memanggilnya 'ayah', dia hanya memanggil Willya dengan formalitas sopan selayaknya bersikap kepada sang penguasa wilayah, bukan kepada ayah.

Dada Willys rasanya menyempit, pikirannya bingung, disertai deru nafas yang ikut memberat ketika memikirkan putrinya.

Namun, Ia hanya bisa menahan hal itu sampai tiba di ruang kerjanya yang agak berantakan karena banyaknya urusan baru yang datang.

Mengusap wajahnya pelan, Willys menyender pada meja kerjanya lalu melepaskan jubah dan emblemnya. "Ambilkan aku anggur." Perintah Willys pada ajudannya.

Ksatria ajudan, Fyion Fenofalta menunduk untuk menjalankan perintah. Lalu pergi untuk mengambilkan tuannya sebotol anggur pekat yang biasanya tersimpan khusus di dapur Istana.

Willys menatap dokumen-dokumen penting yang masih belum dia selesaikan, lalu dengan gerakan pasti dia mengambil lembar demi lembar untuk ia baca atau tanda tangani sesuai dengan apa yang diminta.

Mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah yang kian membumbung tinggi didalam dirinya.

"Yang Mulia, tidakkah Anda ingin menjelaskan sesuatu kepada Yang Mulia Pangeran dan Yang Mulia Putri?" Fyion berpendapat, memberi sedikit masukan karena tidak tahan melihat majikannya terlihat tersiksa dalam batinya.

"Tidak." Jawab Willys spontan.

"Ya? Kalau begitu sampai akhir mereka tidak akan mengerti awal mulanya, Yang Mulia." Fyion sekali lagi membujuk majikannya untuk benar-benar bercerita kepada kedua pewarisnya agar tidak ada salah persepsi diantara mereka.

"Apanya yang harus mereka mengerti? Semua sudah jelas menjadi tanggung-jawabku." Willys mengeratkan rahangnya menatap Fyion, membuat laki-laki itu kemudian menunduk-- meminta maaf atas kelancangannya.

"Pergilah, suruh pelayan mengantarkan makan malamku di ruangan ini nanti. Jangan ada yang mengganguku sampai besok."

Fyion mengangguk, lalu berjalan mundur untuk berniat keluar ketika Willys sudah mengambil kacamata kerjanya dan mulai fokus lagi dengan dokumennya.

Sepeninggal Ratu, Raja memang tidak tersentuh. Tidak ada lagi raut bahagia yang pernah tercipta ketika beliau bersama mendiang Ratu.

Raja Willys mengekang dirinya dalam kekerasan dalam kesepian karena telah kehilangan sosok tercintanya, begitupula dengan Jeffrey.

Menaruh Yang Mulia Putri jauh dari jangkauan Willys dahulu mutlak ditetapkan karena kepedihan mendalam yang begitu mengusik Willys, sehingga tidak mau menatap anak perempuannya yang begitu mirip dengan istrinya.

The Princes of Natuality Kingdom [MAJOR EDITED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang