Chapter 2

60 13 72
                                    

Chapter 2

●●●

♡ Happy Reading ♡

●●●

Aku menapakkan kaki di sepanjang tangga menuju lantai dua tempat sesosok makhluk yang kukenal bertapa. Sebenarnya, aku enggan hati mengunjungi kediamannya cuma untuk menggotongnya ke sekolah. Padahal aku yakin bapaknya bisa membelikan dia ijazah pendidikan, jadi untuk apa repot menuntut ilmu 12 tahun ke sekolah. Okay, bagian transaksi ijazah itu kedengaran berlebihan banget.

Aku mencapai puncak tangga dan aku melihat Mbak Reni tengah berjalan membelakangiku. Aku mempercepat langkah dan jadilah aku berjalan bersisian dengan asisten rumah tangga itu.

"Mau ke kamar Vay, Mbak?" tanyaku, membuat Mbak Reni menoleh.

"Eh, Ken. Kamu mau pergi bareng Vay, ya?" Aku mengangguk.

"Iya, Mbak mau ke kamar dia. Soalnya hari pertama sekolah, lho. Tapi dia belum bangun juga."

"Aku aja yang bangunkan Vay. Mbak Reni punya kerjaan lain, kan?" tawarku, lalu Mbak Reni mengiyakan tanpa perlu basa-basi menolak.

Aku tiba di depan sebuah pintu cokelat dengan gantungan bertuliskan kalimat kliese "Vay's room". Sebelum menarik gagang pintu dan masuk ke dalam, aku terlebih dahulu mengetuk pintu yang tidak disahut sama sekali oleh penghuni kamar.

Aku nggak kaget sewaktu melihat kesuraman kamar Vay. Gelap dan berantakan, cocok dengan citra cowok preman yang menempel padanya. Aku menekan saklar lampu dan muramnya kamar ini jadi sedikit berkurang. Wajah Vay berubah masam seketika, pasti karena matanya perlu beradaptasi dengan kondisi kamar yang jadi terang.

"Nggak usah merengek cuma karena cahaya lampu, lo bukan vampir," cibirku, lalu dengan iseng melempar jaket ke arah wajah kusut Vay.

"Bangke." Vay menepis jaketku sehingga benda malang itu jatuh ke lantai. "Vampir alergi cahaya matahari, bukan lampu."

Aku pura-pura nggak mendengar kalimat terakhir itu. Aku mendudukkan pantatku di atas kursi belajar Vay, seraya memperhatikan sahabatku yang tengah cosplay jadi monyet bekantan. Di tengah Vay yang sibuk menggaruk kepala, gadis itu menatapku nyalang, seolah diamku berarti sesuatu yang nggak pas baginya.

"Gue tau lo pasti cibir gue dalem hati, kan?" ucap Vay sambil mengacungkan telunjuknya. "Lo mau cibirin apa, hah?! Rambut gue? Iler gue?"

"Santai aja kali. Gue nggak bilang apa-apa."

Vay menatap nggak terima. "Dih, gue tau, ya. Isi otak busuk lo."

Terlalu asyik mengobrol, aku sampai lupa tujuan aku datang kemari. Aku melihat waktu yang ditujukan pada jam tanganku.

"Mending lo siap-siap, deh. Tiga puluh menit lagi kelas dimulai." Aku bangkit dari duduk dan melangkah ke luar. "I'll wait downstairs."

Aku dan Vay duduk di jok belakang mobilku, sementara seorang sopir mengemudi di jok depan. Mataku menatap keluar jendela, memperhatikan objek-objek yang melintas seperti kilat karena kecepatan mobil yang melewati mereka. Setelahnya laju mobil melambat kemudian berhenti karena sedang dipalang oleh lampu merah.

"Lo udah tau sekolah kita itu gimana?" tanya Vay, sementara matanya sibuk menggeluti layar ponsel.

"Sekolah biasa, nothing so special. Sekolah kita yang lama jauh lebih baik."

"Oh, ya? heran, kenapa bapak gue masukin gue ke situ."

Aku mendelik geli, perkataan sok itu nggak membuatku berpikir dua kali untuk merespons sinis.

"Lo berharap apa? International school? Bapak lo masih punya akal kalau otak anaknya nggak mumpuni belajar di tempat elit."

Kedua mata berlensa kontak Vay memelototiku, sementara sebelah tangannya berancang-ancang melempar ponselnya ke arahku.

"Mulut lo, ya, Ken. Kalau bukan karena sayang, udah gue geprek lo."

"Lo sayang gue?" Aku menunjuk diri sendiri. "Cium, dong."

Tangan Vay yang semerbak wewangian menutupi wajahku, lalu mendorongnya hingga kepala bagian kananku hampir membentur jendela.

"Jijik banget lo," ucapnya diiringi tawa.

*

Mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan gerbang sekolah dengan plang besar "SMA Campura", kurasa perlu waktu sampai terbiasa dengan nama aneh itu. Aku mendongakkan kepala ke jendela, diikuti kepala Vay yang tepat berada di sebelahku. Kami berdua sama-sama setuju kalau tampak luar sekolah itu nggak seburuk yang kami pikirkan.

"Yuk, turun." Aku menarik gagang pintu dan pintu sudah sedikit terbuka.

"Wait."

Aku menoleh ke belakang, melihat apa yang menghambat tuan putri itu untuk segera turun.

"Oh, Good, Vay," kataku seraya mengeluh. Gadis itu sibuk menyugar rambutnya berkali-kali dengan kedua tangan.

"How do I look?"

Aku memperhatikan tampilan rambut cewek itu. Lalu menyuruhnya berbalik. Tanganku menggapai tiap-tiap helai rambutnya hingga muat dalam satu genggaman tanganku.

"Siniin, ikat rambut lo!"

Vay menarik ikat rambut di pergelangan tangannya lalu menyerahkan benda itu padaku.

"Apaan, dah rambut lo diacak-acak kayak tadi? Mau new school new me, gitu?"

"Gue bukan sembarang acak rambut, ya. Itu tuh biar—"

"Ya, ya, ya. Terserah." Aku mengencangkan ikatan rambut Vay. "Sip, udah rapi lo. Yuk turun."

*

Sejak turun dari mobil, tiap siswa yang berpapasan dengan kami selalu mengarahkan pasang matanya ke arahku dan Vay. Sikap yang paling pantas ditunjukkan adalah dengan performa diri seakan aku sudah terbiasa dengan semua tatapan itu.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke kantor guru bermodalkan bertanya pada salah seorang siswa yang kami lewati. Masuk ke dalam kantor, aku mendekati seorang guru untuk bertanya apakah Kepala Sekolah ada di ruangannya.

"Permisi, Bu."

Guru tersebut urung membereskan buku-bukunya.

"Oh, ya?"

"Saya Ken dan ini Vay. Kami anak baru, Bu."

Guru tersebut memicingkan kedua matanya. "Ken dan Vay? Oh, saya wali kelas kalian. Kebetulan banget, ya. Yuk, ikut saya. Kelas sudah mau mulai."

Aku dan Vay menerima kemurahan hati tersebut. Kami mengintili guru tersebut hingga tiba di depan pintu kelas. Dari luar, kelas tersebut terdengar berisik, namun berakhir hening ketika guru itu tiba di kelas. Pandangan yang aku dan Vay dapat sewaktu masuk kelas nggak jauh berbeda dari yang tadi.

Aku memperhatikan teman-teman sekelasku, lalu pandanganku terkunci sesaat pada seonggok daging hidup yang duduk di kursi pojokan ruangan. Anak laki-laki itu mungkin cukup menarik perhatian karena lebam di jidatnya, tapi aku nggak menemukan hal lain yang menonjol darinya sehingga sosoknya familiar di benakku. Menyadari aku yang mendadak menjadi aneh, aku mengalihkan fokusku.

Guru meminta aku dan Vay memperkenalkan diri, Vay melakukannya lebih dahulu, dilanjutkan dengan aku yang mencoba memberi impresi bagus untuk para penghuni kelas.

"Hai! Gue Kendrick Adhinata, mohon bantuan semuanya," ucapku dengan sumringah, yang mengundang jeritan-jeritan kecil dari para gadis di depanku.

Well, aku nggak bisa melarang mereka melakukan itu.


●●●

To Be Continued

●●●

Jika suka, berikan vote dan komentarnya, ya. Thanks ♡♡♡

4 Maret 2023

PinceSlovu and Wood_autumn

Pretty Cursed Soul { END√}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang