"Jawabannya udah cukup. Aku sayang kamu, kamu sayang dia"
-Kenzie Aurora-
*
*
*
*Aku termenung menatap papan yang kosong. Suasana kelas begitu ribut. Raki dan semua bacotannya. Berkumpul dan bergurau bersama kelompok siswa lelaki lainnya. Sedangkan siswa perempuan, berkumpul di sudut kelas dan bergosip ria. Perasaan sedih kembali menggerogotiku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mereka sama sekali tak menganggap keberadaanku.
Biasanya aku yang akan memimpin para siswa lelaki, membuat lelucon dan tertawa bersama. Biasanya aku yang membawa berita baru di kelas ini, kemudian bergosip bersama teman perempuanku dengan sedikit menambahkan bumbu dalam cerita. Aku merindukan semua itu. Aku seperti dikucilkan. Seakan hanya debu yang tak layak disentuh, ataupun dipandang. Hanya untuk dibersihkan atau di biarkan.
Hatiku bergejolak. Kemarahan tiba tiba muncul. Menghimpitku hingga aku harus meraup udara dengan rakus. Aku berdiri. Mendorong kursi hingga terjatuh dan menimbulkan bunyi yang keras. Suasana seketika hening. Mereka memandangku kaget.
"LO SEMUA KENAPA SIH!!!" Aku berteriak frustasi. Aku menuntut jawaban.
"KALO GUE ADA SALAH, BILANG!! PLEASE JANGAN DIEMIN GUE KAYAK GINI. JELASIN APA KESALAHAN GUE!!" aku berusaha untuk tidak terisak. Mataku sudah memanas. Aku yakin wajahku memerah sekarang.
Suasana masih belum berubah. Mereka menatapku diam dan bisu. Tak ada yang membuka suara. Aku benar-benar menginginkan jawaban mereka. Aku mendekati Raki, yang menatapku cemas. Aku menarik keraknya hingga dia berdiri. Aku melotot padanya, menuntutnya untuk berbicara.
"Jelasin!" ucapku penuh penekanan. Memerintahnya.
Bibirnya masih terkunci. Aku yakin dia hendak bicara, tapi ragu mengucapkannya. Aku menatapnya nyalang. Sedikit lagi, jika dia tidak bicara maka aku akan...
"Lo nggak gini." akhirnya dia bersuara. Dia tertunduk, tapi tidak menatapku.
"Zie, gue nggak setuju lo kayak gini." Lanjutnya lagi. Aku dibuat bingung. Aku tidak mengerti dengan perkataannya. Seakan memahami isi pikiranku, Raki menatapku. Melepas tanganku dari keraknya secara perlahan. Dia mundur sedikit dariku.
Dia menghela nafas kasar sebelum berbicara lagi. "Lo nggak seharusnya kayak gini, Zie. Jujur kita semua kaget liat penampilan lo. Lo emang nggak salah, nggak salah lo mau ubah penampilan lo. Tapii.." ucapannya terhenti. Seakan tak mampu untuk bicara lagi.
"Tapii?" tanyaku tak sabaran.
"Zie," kata seorang gadis. Dia Jean. "Kita nggak mau lo kayak gini"
Aku kaget mendengar perkataannya. Apa hanya itu masalahnya? Hingga membuat mereka tidak mau menegurku?
"Sebenernya," dia melanjutkan, menatapku marah dan kecewa. "Zie, lo nggak cocok kayak gini. Kita semua mau lo yang tomboy, yang bandel, yang nakal, urakan. Bukan kayak gini." Dia menarik nafasnya dan berhenti. Memerhatikanku.
"Tapi kenapa? Apa cuma itu alasannya sampe kalian semua nggak mau ngomong sama gue?" aku berusaha mati-matian agar tidak menangis.
"Bukan gitu. Kita cumaa..." Jean nampak ragu untuk melanjutkan perkataannya.
"Kita semua nggak suka sama sahabat lo itu!" suara tegas seseroang terdengar. Edo mendekatiku dengan tatapan marah.
"Gue yakin, pasti dia yang hasut lo untuk mengubah penampilan kayak gini. Iyakan?" tuduhnya asal. Aku yang merasa tidak terima langsung mendorong bahunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About October
Teen FictionTentang Oktober, bulan yang menjadi saksi perjalanan cinta yang rumit. Kenzie Aurora Alexander, cewe cantik yang dikenal sebagai primadona di SMA CAKRAWALA. Sejak setahun yang lalu, Kenzie telah menyimpan bibit cinta kepada seorang cowo tampan yang...