Ada satu hal yang membuat Hikari tidak mengerti.
Biasanya, di hari libur seperti ini, sang anak akan menghabiskan waktu dengan tidur tanpa keluar kamar -- paling kurangnya hingga mendekati pukul sebelas siang.
Bahkan, meskipun sudah diteriaki dan pintu kamarnya didobrak seperti seorang petugas menyergap teroris, Hinata tidak akan mau bangun.
Tapi sekarang, entah apa gerangan yang menghantam kepala cantik sang anak, hingga pagi-pagi begini sudah terlihat begitu rapi dan bersih.
"Hinata, apa kamu ada rencana di luar?"
Sembari mengatur helaian rambut panjangnya agar menjadi sangat anggun di belakang telinga, Hinata menggeleng pelan. "Tidak. Memangnya, kenapa?"
Hikari melepas apron yang digunakan selepas memasak dan membersihkan dapur. Ia juga mengambil duduk di seberang meja dengan mata yang terus mengarah pada Hinata.
"Lalu, kenapa sudah sangat rapi?"
Benar. Beberapa saat lalu, Hinata juga bangun dengan cepat. Dia datang untuk bertanya tentang tetangga baru mereka, dan setelah itu langsung berlari cepat masuk kamar.
Hikari pikir, Hinata akan melanjutkan tidur, tapi ternyata, dia malah kembali lagi ke dapur dengan penampilan seperti ini.
"Kenapa?" Hinata membalas. "Apa salah kalau aku tampil rapi?"
"Bukan salah. Ibu hanya terkejut melihatnya."
"Terkejut?!" Sorot wajah Hinata menampilkan protes keras.
Apa maksudnya dengan terkejut? Apa selama ini dia terlihat seperti Tarzan sampai harus merasa kaget melihatnya lebih rapi?
"Terkejut bagaimana? Memangnya, penampilanku seburuk apa selama ini di mata Ibu?!" Helaan napas lolos dari sela bibir Hinata. "Aku juga perempuan. Aku juga ingin terlihat manis di mata orang-orang."
"Kamu ingin terlihat manis di mata siapa memangnya?"
Hinata terdiam. Ia sedikit salah tingkah. "Ah, t-tidak ada! Aku ingin terlihat cantik dan manis untuk diriku sendiri! Ada apa dengan Ibu? Kenapa jadi sibuk mengomentari penampilanku?!"
"Kenapa malah berteriak? Ibu hanya bertanya."
Cukup kasar, Hinata bangkit berdiri. Pembicaraan ini membuat suasana hatinya jadi buruk.
"Sekarang mau ke mana?" Hikari melanjutkan. Ia penasaran saat melihat Hinata meraih sepiring makanan yang baru saja dia buat beberapa saat lalu.
"Ekhem! Kita memiliki tetangga baru, setidaknya harus saling berkenalan."
"Saat keluarga Akimichi pindah ke sini, kamu tidak mencoba ingin menyapa mereka."
Hinata terhenyak. Sebulan lalu memang ada tetangga baru yang menetap di rumah seberang jalan, dan sampai sekarang, Hinata belum saling bertegur-sapa secara intens dengan mereka.
"Nyonya Akimichi beberapa kali datang ke sini. Dia bilang penasaran ingin melihatmu. Tapi, kamu selalu beralasan supaya tidak bertemu."
Astaga.
"Kalau memang ingin mengunjungi tetangga baru, pergi jugalah ke rumah mereka."
Hinata menarik satu bungkusan roti yang masih tersegel lalu mendekapnya dalam pelukan. "Ibu tahu sendiri kalau belakangan ini aku sibuk. Pertama-tama, aku harus ke rumah Tuan Namikaze. Tadi, kami sempat saling bertatapan. Tidak enak kalau tidak bertemu langsung."
"Alasan."
"Aku tidak beralasan! Itu memang kenyataannya! Ibu tenang saja, aku akan tetap pergi ke rumah Akimichi, ..." Hinata tersenyum manis. "... tapi lain kali." Ia hendak keluar dari dapur, tapi, suara Hikari membuatnya kembali menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Look Here, Darling! [ NaruHina ]
FanfictionKetika masih bergelut dengan dunia mimpi pada hari libur, Hyuga Hinata dibangunkan oleh suara bising yang berasal dari bangunan di sebelah rumah. Apa yang dia dapati? Namikaze Naruto; seorang pria tampan dan menawan dengan kharisma yang luar biasa...