1

3.1K 149 6
                                    

Berlari turun menuruni anak tangga. Kaki panjang nan jenjang bergerak cepat, tanpa memperhatikan langkahnya.

"Jenggala Naratama!"

Oh, shit!

Suara memekik dari mahluk setengah Kodok Zuma, tengah mengejar dirinya. Anak laki-laki bernama Jenggala itu mulai merasa terancam.

Kakinya tergelincir pada anak tangga ketiga paling bawah. Membuatnya jatuh tersungkur, kepala serta bokongnya benar-benar menghantam lantai yang keras.

Bruk!

Jenggala memegangi kepalanya. Dunia terasa berputar secara brutal dan keluar dari porosnya. Anak laki-laki itu hanya mampu menutup mata, tak ingin membukanya. Sebab, ketika matanya terbuka, yang terlihat hanya bintang kelap-kelip.

"Pasti gue anemia..."

"Nama gue siapa?"

Tak ada suara disekitar Jenggala. Dia memang turun dari lantai rooftop yang jarang dilewati. Suara yang terus memanggilnya tadi, kini lenyap dan berganti sunyi.

Tuhan, jika memang ini waktunya. Jenggala siap. Siap amnesia dan diangkat oleh orang tua kaya raya sebagai pewaris tahta.

Saat mata Jenggala ingin tertutup lebih rapat, terdengar suara samar-samar yang bertanya padanya.

"Are you oke?"

Suara berat nan serak. Tipe-tipe suara yang sangat nikmat ketika diajak teleponan di malam hari.

Jenggala memaksa membuka mata. Wajah pertama yang dia lihat adalah wajah tampan guru baru di sekolahnya.

Tidak.

Ini semua gara-gara guru itu. Jenggala harus menjalani hukuman dengan Kodok Zuma. Guru itu bernama Magma Sangkakala. Tertebak dari namanya, dia guru paling menakutkan yang pernah ada.

Dengan kekuatan yang masih Jenggala miliki. Dia bangkit, berdiri sempoyongan di depan Magma.

"Are you oke, are you oke! Kalau lo jatuh, terus kepala lo kebentur, bokong lo langsung tepos—masih bisa jawab I'm oke, honey. Don't worry, nggak kan?!" serang Jenggala.

Magma menatap tajam ke arah Jenggala. Berani sekali anak itu, katanya dalam hati. Sebagai Guru Bahasa Inggris yang baru, Magma tak mau langsung berurusan dengan berandalan sekolah. Tetapi, anak di depannya itu benar-benar berbeda dari yang lain.

"Kamu tau sedang berbicara dengan siapa, Jenggala Naratama?" Bukan pertanyaan. Hanya sebagai pengingat posisi derajat mereka berdua.

Jenggala tak gentar. Baginya, guru seperti Magma bukanlah seseorang yang harus dia takuti.

"Kenapa emangnya?!"

"Kita sama-sama manusia, sama-sama makan nasi. Jadi, kenapa gue harus takut?!" tantang Jenggala sekali lagi. Melipat tangan di depan dada.

Kening Magma berkerut. Mulai terlintas pemikiran licik. Jika anak di depannya tak bisa diajak berbicara secara baik-baik, maka harus bisa menggunakan cara yang paling ampuh ini.

"Siapa bilang saya makan nasi?" Magma maju melangkah lebih dekat.

Pergerakan tak terbaca Magma, mengharuskan Jenggala mundur kebelakang hingga mentok menabrak tembok. Jarak mereka terlalu dekat, seperti adegan dalam series romantis, dimana seorang pria ingin mencium kekasihnya.

Kepala Jenggala menggeleng cepat. Ingin menghilangkan segala pemikiran yang membuatnya menjadi anak-anak laki-laki penakut.

"M-mau apa lo?!" Sialnya. Saat bertanya demikian, suara Jenggala terdengar bergetar.

MaJe (Magma and Jenggala) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang