4

981 90 15
                                    

"Kok lo berani sama tuh Guru baru?" tanya Jean penasaran.

Bukannya, pertemuan pertama mereka, membuat Jenggala hampir mati kehabisan darah?

"Pas gue cari tau, katanya Kanibal makan manusia kalau udah mati," jawab Jenggala. Sesuai dengan apa yang dia ketahui.

"Lah, tapi kalau dia ngebunuh lo?" tanya Jean lagi. Siapa yang tau pikiran manusia. Dia saja, yang awalnya tak ingin percaya, kini mulai percaya bahwa Magma adalah seorang Kanibal.

Jenggala nampak berpikir sejenak. "Iya juga, ya." Kemudian dia melirik Magma. Wajahnya terlihat seperti seorang pembunuh berdarah dingin.

Mereka bertiga baru saja selesai makan siang bersama. Mobil hitam yang Magma kemudi, berjalan menuju alamat rumah Jean. Guru baru itu, entah bagaimana dia bisa menghapal semua alamat muridnya tanpa diberi tau sebelumnya.

Makin dekat alamat rumah Jean, makin tak enak perasaan Jenggala. Mereka berdua berpegang tangan di kursi penumpang, sedangkan Magma mengamati dari kursi kemudi.

"Gue takut berduaan di mobil sama nih orang," bisik Jenggala.

Jean mengangguk pelan, mengusap pundak temannya. Dia paham betul perasaan Jenggala sekarang.

"Yang sabar, ya. Gue pasti datang ke pemakaman lo kok," kata Jean mengejek. Suka saja mengejek temannya itu. Sekedar niat balas dendam, sebab dia selalu dibodohi.

Kepala Jenggala menggeleng, matanya terlihat sayu, sembari melirik melalui ekor matanya melihat ke arah Magma. Pandangan mereka bertemu melalui center mirror mobil. Tak lupa Magma memberi senyuman miring yang menakutkan.

"Apa?!"

"Gue colok juga bola mata lo!" bentak Jenggala. Saat risih atau gugup, Jenggala lebih banyak mengeluarkan umpatan kasar.

"Kamu yang lebih dulu melirik saya," kata Magma.

Ingin menyahuti, tetapi mobil telah berhenti pada tempat tujuan. Itu tandanya, Jean harus segera turun dari mobil dan meninggalkan temannya yang mulai memucat.

Jean mendramatisir, terlihat sedih dan khawatir saat ingin berpisah dengan Jenggala. Anak itu memegang pundak temannya, memberikan kekuatan.

"Jaga diri baik-baik," katanya.

Suasana memang memungkinkan mereka melakoni akting drama Korea. Jenggala yang enggan melepas tangan Jean dan Jean yang memaksa agar pegangan mereka berdua terlepas.

Jean turun sepenuhnya dari mobil Magma. Sebelum benar-benar pergi, anak itu mengucapkan terima kasih lebih dulu.

"Terima kasih atas teraktiran dan tumpangannya, Pak," ucap Jean. Membungkukkan sedikit tubuhnya.

Sebelum berlari masuk ke halaman rumah, Jean sempat berteriak. "Jangan lupa makan teman saya ya, Pak. Bokongnya montok loh!" teriaknya nakal.

Mata Jenggala hampir menggelinding keluar. Telinganya menangkap jelas perkataan busuk Jean, seolah ingin menjual temannya sendiri sebagai tanda terima kasih.

Sebab, kini hanya mereka berdua yang berada di dalam mobil, suasana menjadi canggung atau memang hanya perasaan Jenggala saja?

Jenggala memperbaiki posisi duduknya, berdehem pelan, karena mobil tak kunjung bergerak.

"Pindah ke depan," pinta Magma.

Sungguh, Jenggala merasa setiap Magma berbicara, nadanya selalu mengintimidasi, menakutkan dan sedikit mesum.

"Nggak! Gue mau disini, lebih luas," tolak Jenggala sengaja.

"Saya bukan sopir pribadi kamu, Jenggala." Magma menepuk jok kosong di sampingnya sambil melirik tajam ke arah Jenggala.

MaJe (Magma and Jenggala) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang