Membiarkan seorang yang menjabat sebagai guru, duduk di atas ranjang yang berantakan dan mengabaikannya. Seolah tak ada siapapun dalam kamar itu, selain dirinya sendiri. Jenggala melewati Magma begitu saja, melepaskan seragam sekolah, kaos dalaman dan melemparnya ke dalam keranjang pakaian kotor.
Semua itu tak luput dari pantauan Magma. Pria itu menggeleng pelan dengan senyuman tipis. Sembari menunggu Jenggala melihatnya, Magma membaringkan tubuhnya.
"Aroma perempuan," gumam Magma pelan. Setelah indera penciumannya menangkap aroma feminim dari tempat tidur Jenggala.
"Apa anak itu membawa seorang gadis ke dalam kamarnya?" pikirnya kemudian.
Magma beringsut bangun, memilih posisi duduk dengan mata meneliti seluruh bagian kamar Jenggala. Sepertinya, dugaannya salah. Melihat ada banyak varian parfum yang sama tertata rapih di lemari kaca.
Cukup puas melihat-lihat. Kini pandangan Magma teralih saat Jenggala keluar dari kamar mandi, hanya menggunakan handuk berwana putih yang melilit pinggangnya.
Kening Magma berkerut. Pria itu pikir, Jenggala memiliki tubuh kekar, namun nyatanya tidak seperti yang dia bayangkan. Pasalnya, tubuh Jenggala itu ramping, pinggang kecil dan kulit yang mulus.
"Kapan lo mau pulang?" tanya Jenggala. Tanpa menatap Magma, anak itu sibuk mencari celana pendek di dalam lemari.
"Nanti malam," jawab Magma iseng.
Jenggala berdecak kesal. "Jangan tinggal lama-lama, gue mau fokus belajar," katanya mengusir.
Mendengar itu, Magma tertawa pelan. Mana mungkin dia mempercayai ucapan Jenggala barusan. Belajar? Terdengar tak masuk akal.
"Terserah lo mau percaya atau nggak." Jenggala menyadarinya. Anak itu tau, Magma sedang mengejeknya dibelakang.
"Kalau begitu, saya yang akan mengajar kamu." Hitung-hitung, Magma memulai tugasnya sebagai guru penanggung jawab Jenggala.
Jenggala tak menolak ataupun mengiyakan.
Kembali acuh, mungkin karena anak itu pikir bahwa mereka berdua sesama laki-laki, jadi wajar saja jika dia telanjang bulat di depan Magma. Handuk putih yang melilit di pinggang Jenggala, terlepas bebas.
"Oh, shit!" Magma mengumpat tajam.
"Kenapa?" tanya Jenggala kebingungan. Terlebih, Magma malah mengalihkan pandangannya.
"Kamu seharusnya tidak melakukan itu," jawab Magma. Suaranya terdengar berat dan serak.
Selesai memakai celana pendeknya, tanpa mengenakan kaos, Jenggala memilih bertelanjang dada. Dia berjalan menuju meja belajar yang sangat jarang disentuh.
"Telanjang maksud lo?" tanya Jenggala memastikan.
"Ngapain kaget sih. Perasaan kita sama-sama punya," sambungnya biasa saja.
Magma mengigit bibir bawahnya, menggeleng pelan, kemudian menghampiri Jenggala. Dia mengambil kursi untuk duduk di samping anak muridnya yang nakal.
"Kalau saya tergoda?" tanya Magma tiba-tiba. Menatap tajam ke arah Jenggala.
Merasakan merinding sekujur tubuhnya. Jenggala hendak menarik kursinya menjauh, namun kursi itu lebih dulu ditahan oleh kaki Magma.
"Suara lo kek bapak-bapak pecandu ganja, anjir!" ujar Jenggala.
"Gue jadi takut," tambahnya gugup. Pikir anak itu, Magma lebih suka memakan orang ketika dia telanjang bulat, makanya tergoda saat melihatnya tadi.
Menghembuskan napas berat. Magma, menarik buku yang Jenggala hendak baca tadi. Itu buku tebal berisi rumus fisika.
KAMU SEDANG MEMBACA
MaJe (Magma and Jenggala) END
CasualeWarning 21+ (BxB) Hanya cerita kecil nan lucu, kisah asmara biasa dengan bumbu-bumbu pertengkaran sebagai pelengkap. Benci jadi cinta, perasaan yang sudah biasa dirasakan oleh sebagian umat manusia. Ini, antara Magma dan Jenggala. Guru dan Murid. (...