6

896 96 12
                                    

"Dia terlihat seperti kamu."

"Suka berbicara kasar dan bodoh."

"Penakut, tetapi sangat nakal."

"Dia adalah kamu versi anak laki-laki."

Magma mengusap bingka foto ditangannya, ada foto seseorang yang tengah tersenyum manis. Gadis dengan rambut panjang, bergaun biru muda, terduduk di kursi kayu tua. Dia terlihat sangat bahagia saat foto itu diambil.

Brak!

Lamunan indah Magma terhenti. Suara dentuman keras dari pintu membuatnya terlonjak kaget. Kepalanya sedikit miring, menatap pelaku yang telah membuat keributan.

Bocah kematian, Jenggala. Dengan napas naik turun tak teratur, mata menatap nyalang dan bahu terangkat siap menantang siapa saja.

Menghentak-hentakkan kakinya marah. Berjalan mendekati meja Magma. Anak itu terlihat sangat marah pagi ini.

Brak!

Setelah membanting pintu, sekarang Jenggala menggebrak meja tepat di depan Magma.

"Dasar tukang ngadu!" semprotnya.

"Lo tau, gue mau mati kehausan jalan kaki ke sekolah, anjir!"

"Gue juga kelaparan, nggak sarapan, mana nggak dikasih duit!" amuk Jenggala sejadi-jadinya. Dia berkata tanpa jeda.

Wajah tenang Magma terlihat menantang. Pria itu tersenyum tipis, menopang dagunya tanpa takut mendapat hantaman lagi dari Jenggala.

"Lalu?" tanya Magma. Terdengar sangat meremehkan.

Mata Jenggala membulat sempurna. Semua ini karena gurunya itu. Ayahnya benar-benar mencabut semua fasilitas yang dia berikan, bahkan tidak memberikan sepeserpun uang jajan untuk sekolah.

Magma mundur, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan melipat tangan di depan dada. Tentu dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Jenggala harus patuh padanya, bagaimanapun caranya. Maka dari itu, dia menggunakan ketakutan Jenggala pada Tama.

"Saya sudah memberi peringatan, tapi kamu tetap melanggarnya," kata Magma kemudian.

Mencoba menahan segala emosinya. Jenggala menarik kursi, mendudukkan diri sambil berhadapan langsung dengan Magma.

Ini pertama kalinya, ayahnya mengambil tindakan serius. Jenggala seperti anak buangan sekarang, uang makan pun tak punya. Jadi, dia harus bisa menjilat gurunya itu demi kebaikan bersama.

"Kasih gue duit." Jenggala mengulurkan satu tangannya, meminta uang untuk sarapan. Dia sangat lapar, ini bukan kebohongan.

"Berapa?" tanya Magma. Sempat ingin tertawa melihat ekspresi wajah itu, wajah memelas namun penuh kebencian.

"Terserah, asal bisa buat sarapan," jawab Jenggala pasrah.

Magma mengangguk menyetujui, tidak mengeluarkan uang. Namun, mengambil ponsel dari dalam sakunya. Pria itu lebih memilih memesan sarapan untuk mereka berdua dan akan segera datang.

Perasaan tidak bersemangat menghampiri, Jenggala ingin marah dan menangis sekarang. Mengapa semua orang mempermainkan dirinya?

"Akan lebih baik jika kamu menjadi anak penurut Jenggala," ucap Magma.

"Nyenyenye..." Bukannya mendengarkan, Jenggala malah memasang wajah mengejek.

Terlihat Magma berdiri dari tempatnya. Berjalan ke tempat dimana kulkas kecil berada, mengeluarkan minuman dingin untuk dia berikan pada anak di ruangannya itu.

Magma menempelkan botol minuman dingin ke pipi Jenggala. Jenggala terlonjak kaget, memegangi pipinya yang terasa keram karena dingin.

"Minum." Menyodorkan minuman dingin itu pada Jenggala. Magma merasa kasih juga, akibat laporannya anak itu terkena imbasnya.

MaJe (Magma and Jenggala) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang