05. Tragedi Kentut Semut

83 78 37
                                    

Hari ini, jam kosong yang seharusnya diisi oleh pelajaran Matematika, rencananya akan diisi oleh pelajaran Bahasa Indonesia.

Hal ini sudah disepakati oleh Ketua Murid dan anak-anak kelas. Jadi, pelajaran Bahasa Indonesia akan dimajukan sebelum jam istirahat. 

Untungnya, Guru Bahasa Indonesia menyetujui rencana kami, karena kebetulan beliau juga sedang tidak ada jadwal mengajar di kelas lain pada jam tersebut.

Pelajaran bu Harni pun dimulai. Suasana di kelasku mendadak hening seketika. Sepertinya keputusan kami ini membawa kesialan, guys. 

Hari ini, bu Harni selaku Guru Bahasa Indonesia, menanyakan tugas menulis puisi yang minggu lalu ia berikan kepada kami, pada saat beliau berhalangan hadir.

Kami mengira tugas tersebut hanya akan dikumpulkan dan diberi nilai saja, nyatanya tidak se-simple itu.

Sekarang, beliau malah menyuruh kami untuk membacakan puisi itu di depan kelas. Katanya sih, agar beliau hafal nama-nama murid di kelas kami.

Aku tak perlu khawatir, karena puisi yang ku tulis bertemakan persahabatan. Jadi, masih aman lah untuk dibacakan di depan kelas nanti.

Terhitung sudah ada lima murid yang membacakan puisinya ke depan kelas dan sebentar lagi giliranku yang akan dipangggil oleh beliau.

"Selanjutnya, Haura Aleena. Sehabis Haura, mohon bersiap-siap ya!." Ucap bu Harni

Aku pun bergegas berdiri dari tempat duduk dan melangkahkan kaki ini ke depan kelas. Jika kalian bisa melihatnya,  raut wajahku seketika berubah menjadi tegang dan jantungku terus bertalu-talu di dalam rongga dada ini.

Kali ini, rasanya berbeda. Bukan seperti jantung murahan ketika berhadapan dengan kak Dean waktu itu. Rasa tegang, malu, dan grogi menjadi satu kesatuan yang kuat.

"Ayok, Haura. Perkenalkan diri dulu, biar ibu dan teman-teman bisa mengenal kamu." Beliau bersuara kembali.

"Hufthh.." ku hela nafas terlebih dahulu untuk menetralkan rasa nervous ini.

Aku pun mulai bersuara, "Perkenalkan, nama saya Haura Aleena. Di sini, saya akan membacakan puisi berjudul Bintang Untuk Sahabat karya Siti Halimah." Ucapku gugup.

Ku edarkan netraku ke arah depan. Terlihat jelas anak-anak kelas tengah memfokuskan atensinya terhadapku, begitu pun bu Harni.

"Kenapa disaat begini kalian pada diem sih?. Suara berisik kalian pada kemana woy." Batinku.

"Malam nan sunyi dan sepi,

Menarikku untuk keluar dari rumah.

Ku pandangi langit malam,

Ternyata bertaburkan Bintang yang tak terhitung jumlahnya.

Andaikan__" Pembacaan puisiku tiba-tiba terhenti, karena beliau menginterupsi. Aku pun diam sambil mendengarkan perkataannya.

"Haura, maaf ibu menyela, ya. Kamu kan ini lagi membacakan puisi, tapi kenapa suara kamu pelan seperti itu?. Ibu yang di samping kamu aja gak kedengaran, apalagi teman-teman kamu. Suara kamu tuh kayak kentut semut tahu, ra." Tuturnya kepadaku.

Sontak anak-anak kelas tertawa setelah mendengar perkataan beliau barusan. Jujur, aku merasa ciut sekaligus seperti merasa dipermalukan di depan umum.

"Sabar ra, sabar." Gumamku mencoba menenangkan diri.

"Kalian pernah dengar gak kentut semut?." Tanya beliau kepada anak-anak.

"Enggak!!!." Saut mereka kompak.

I Wanna Tell HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang