Sepanjang perjalananku mengantar Fiony ke rumahnya, kembali ke orang tuanya, kami berdua hanya terdiam tanpa sepatah kata. Aku tak berani, tak bisa, dan bahkan tak tau ingin mengatakan apa, semua hal yang berputar di kepala dan semua hal yang mengganjal di hatiku menginginkan Fiony untuk tak meninggalkanku. Selama kami bersama, selama ada Fiony di hidupku, aku merasa bahwa hidupku lengkap. Perpisahan dengannya membuatku merasa tak bisa hidup tanpanya, padahal sebelumnya aku mampu. Fiony sudah menjadi bagian hidupku, mungkin separuh, bahkan lebih, bahkan mungkin 99% hidupku sekarang adalah tentang Fiony tanpa memikirkan diriku sendiri. Memang, sesuatu yang hilang akan terasa berharga ketika hanya bisa dikenang. Menyesal ketika dulu aku begitu jahat dan tak menyukainya, menyesal ketika aku cuek dan tak peduli padanya, tetapi sekarang aku bersyukur bahwa aku berubah, bersyukur bahwa aku mencintai dia, dan bersyukur bahwa Fiony datang di hidupku memberikan banyak hal berharga.
Tanpa ku sadari, secepat itu kami berdua telah sampai di rumah Fiony. Kedua orang tuanya telah menunggu Fiony di depan rumahnya bersama Viana dan seorang asisten rumah tangga yang sudah bekerja bertahun-tahun sehingga seperti keluarga bagi mereka. Aku memarkirkan mobilku di tepi jalan di depan rumah Fiony, aku menghela nafas tanpa berani menoleh ke arah Fiony. Gadis itu keluar dari mobil, tanpa menoleh padaku juga. Aku menyusul keluar dari mobil, bergegas menyusulnya dan berjalan beriringan menuju orang tuanya.
Fiony tiba-tiba menuju ke dalam dekapanku, memeluk diriku dengan erat dan wajahnya tenggelam di dadaku. Ia menangis, semua isi hatinya ia luapkan melalui air mata yang mengalir keluar. Tak ada perpisahan yang menyenangkan, entah itu sementara ataupun untuk selamanya, segala perpisahan akan sangat berat dilakukan apalagi bila perpisahan itu terjadi dengan orang yang paling kamu sayang. Meski berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja, meyakinkan diriku bahwa kami berdua akan kembali bersama setelah waktu perpisahan kami berakhir, tapi tetap saja sebuah perpisahan akan begitu berat.
"Udah.. kalo gini aku juga sedih" ujarku sambil memeluk kekasihku, lebih tepatnya mantan kekasihku.
"Huuu... hiks.. Hiks.. huuee.. Maaf Moi.. huuu" ia menangis di dalam dekapanku, air matanya membasahi kaosku di bagian dada.
"Iya.. gapapa. Nunggu kamu sampai berapa lama pun aku siap... kan kamu juga udah bilang kalau pasti balik ke aku? Aku percaya kok!" balasku, telapak tanganku mengusap pucuk kepalanya perlahan.
Tanganku bergetar, begitu sulit rasanya menenangkan Fiony dengan tangan bergetar dan tangisan yang ku tahan sekuatku. Tubuhku lemas, ingin rasanya aku jatuh ke tanah namun aku harus lebih kuat dari Fiony.
"Katanya kamu udah siap, kan ini kamu yang mau juga. Tenang aja aku pasti dan pasti akan selalu sayang kamu walaupun gak secara langsung..." kataku, pelukanku begitu erat, sangat erat.
Aku tak ingin melepaskannya bila bisa, aku ingin membawanya pulang kembali ke rumah kami berdua kalau bisa. Aku ingin membawanya pulang, menguncinya di kamar, menjadikannya milikku saja. Tetapi, Fiony sudah meyakinkan dirinya bahwa kami tak bisa bersama untuk sementara waktu, ia sudah membuat pilihan. Diantara 2 hal yang paling dia cintai, ia memilih karir dan fansnya dibanding diriku, ia ingin aku menunggunya kembali sampai segala mimpinya tercapai di JKT48.
"Ce, ayo masuk..." ujar Viana mendekat pada kami berdua, aku melepaskan pelukanku dan menoleh pada Viana.
"Huuu.. Moi.. hiks.. Hiks.." Fiony masih tetap mendekapku, aku dapat merasakan bahwa perasaannya sama sepertiku, aku lega.
"Yuk... nanti cece malah sakit" kata Viana lagi, gadis itu menuntun Fiony untuk berjalan masuk seraya Fiony terus menoleh padaku sampai memasuki rumah.
Fiony menghilang dibalik pintu, kini hanya ada kedua orang tua Fiony dan seorang asisten rumah tangga yang berada di luar rumah bersama denganku. Mami Fiony meminta asisten rumah tangganya untuk memasukkan barang-barang Fiony ke dalam rumah lalu ia dan Papa Fiony menghampiriku.
"Mori.. makasih udah antar Fiony pulang" ucap Papanya padaku, aku mengangguk dan menjabat tangan pria itu.
"Makasih banyak om.. Papa." ucapku, membungkuk sedikit ke arahnya.
"Makasih banyak udah mempercayakan Fiony ke saya, walaupun dari pertunangan yang dipaksa namun saya berterima kasih sudah diizinkan untuk menjadi pacar, tunangan, dan suami Fiony... saya sangat ingin dan berharap papa akan tetap jadi mertua saya, jadi papa saya" aku mengeluarkan segala hal yang ingin aku katakan pada papa Fiony.
"Saya bukan pria baik, saya gak bisa jagain Fiony sehingga kejadian kemarin sampai terjadi, saya juga bukan cowok yang bisa bikin Fiony senang terus, tapi saya janji akan menjaga Fiony saat Fiony selesai mengejar mimpinya... saya akan menjadi pengganti papa yang tidak akan mengecewakan papa." kataku kembali, papa Fiony menjabat tanganku dengan kedua tangannya dan tersenyum.
"Iya Mori, saya pegang kata-katamu... terima kasih sudah jaga Fiony beberapa waktu belakangan ini." ia menepuk bahuku, begitu hangat, begitu nyaman.
Aku berpindah pada Mami Fiony yang berdiri di samping papa Fiony, Mami Fiony langsung memeluk diriku dengan air mata yang berlinang. Pelukan sesaat, kini mami Fiony memegang kedua tanganku.
"Mami yang terima kasih Mori karena kamu udah menjaga Fiony, kamu udah sayang sama Fiony, kamu udah bikin Fiony jauh lebih dewasa. Mami bersyukur Mami dan Papa gak salah pilih pria untuk Fiony" ujarnya.
"Mori yang makasih Mi karena udah ditunangkan dengan Fio.. Mori seneng banget bisa punya tunangan secantik, sebaik, dan semanis Fio. Fio melengkapi Mori, Fio mengajarkan Mori banyak hal, mendewasakan Mori, mengubah Mori." aku melepaskan pegangan tangan dari mami Fiony, kembali membungkuk kepada mereka berdua.
"Terima kasih Papa, Mami. Saya berharap benar-benar bisa menjadi menantu Papa dan Mami, sayang sangat berharap akan bisa kembali bersama Fiony."
"Namun bila nantinya Mori dan Fio tidak sejalan, terima kasih sudah menjadi bagian dari kehidupan Mori, sangat berharga dan saya sangat bersyukur."
Aku mengambil langkah mundur, aku tau pasti, sangat tau bahwa Fiony dan Viana pasti tengah melihatku dari balik jendela lantai dua. Aku tersenyum ke arah kamar Fiony, melambai ke arahnya meski entah dia benar-benar melihatku atau tidak.
"Fio, aku sayang kamu. Sangat."
"Saat kamu telah selesai mengejar mimpimu, 3 tahun lagi..."
"Aku akan jemput kamu lagi disini, seperti hari ini.. Sambut aku, aku pasti akan menunggu kamu."Aku menghela nafas panjang, hatiku lega dan siap. Meski tak akan pernah benar-benar siap dan menerima, namun aku akan menunggu Fiony. 3 tahun, bahkan selamanya demi Fiony yang paling ku cinta. Aku membungkuk ke arah mereka, memberi salam terakhirku, salam perpisahan. Sesudahnya aku memasuki mobilku, menyalakan kendaraanku untuk pergi pulang. Mobilku melaju, perlahan-lahan meninggalkan komplek rumah Fiony. Begitu banyak kenangan yang ku punya, mengantar dirinya, menjemput dirinya, bercengkrama dengan orang-orang sekitar saat aku datang setiap hari untuk menanti Fiony.
"See you, Fio."
Mobilku keluar dari komplek rumah Fiony. Entah kapan aku akan kembali kesini, entah kapan aku akan kembali bersama Fiony, namun aku akan menunggu dan terus menunggu. Sampai waktu itu tiba, perasaan sayang dan cintaku, dan segala perasaan yang tersimpan akan terus tersimpan sebagai hal terindah, memori terindah, dan harapan terindah dihidupku.
-Tamat-
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate = Love
Fanfictionhatersmu jadi cintamu?! kisah seorang gadis yg dijodohkan oleh kedua orang tuanya, pertunangan yg dipaksa untuk mengikat keluarga kedua pihak itu memunculkan kisah baru dikehidupan Fiony sebagai seorang gadis idola. Fiony dan Mori terpaksa untuk ber...