Phase 1 🌘 Malaikat Jatuh

402 47 1
                                    

"KENAPA Anda menghadiri perjamuan ini? Anda tidak terlihat seperti orang yang berputus asa ataupun berduka."

Dazai baru saja duduk di kursinya saat seseorang bertanya. "Apakah begitu?" Dia tersenyum simpul sampai matanya menyipit.

"Ya," jawab pria gemuk yang duduk di hadapannya. "Lihatlah saya, gemuk dan jelek, dan selalu tertolak takdir. Orang-orang berkata bahwa Fortuna dan Cupid membenci saya!"

"Nasib saya rasanya jauh lebih malang. Orang-orang yang saya cintai sepenuh hati tewas dalam sebuah kecelakaan!"

"Ada pun saya," kata seorang wanita kurus yang tampak seperti penyihir, "telah dicampakkan oleh suami saya tercinta. Dia mengkhianati saya saat saya benar-benar mencintainya! Oh, kejam! Sungguh lelaki yang kejam tak berperasaan!"

Dazai mendengarkan sambil tersenyum. Dia paham betul rasanya menderita, tapi enggan membagikan simpatinya. Tidak pada sembarang orang. Tidak. Tidak akan lagi.

"Bagaimana denganmu, Tuan? Menilik dari komentar orang terhadap penampilan saya, Tuan pun tidak tampak berduka cita?" tanya Dazai dengan suara pelan, pada seorang lelaki berambut pirang yang duduk tepat di sebelah kanannya. Sementara orang-orang tadi mulai sibuk menyabung nasib.

"Saya berduka atas dosa-dosa saya," jawab lelaki itu sambil tersenyum tipis. Wajahnya bagaikan langit mendung sebelum badai.

Dazai menangkap gemetar kecil dalam hati lawan bicaranya. "Dosa, ya." Dia ikut tersenyum. Hatinya pun mendadak berat.

"Bagaimana dengan Anda? Duka seperti apa yang menuntun Anda ke tempat ini?" Lelaki pirang itu balik bertanya.

Dazai menatap kedua matanya yang berkilau seperti rubi. Sepasang mata yang indah, hanya saja dicemari kegelapan. Kegelapan yang sangat Dazai kenali penyebabnya.

Dia tahu mereka saling membaca, dan merasa dirinyalah yang menang sebab tak tertebak.

"Bukan duka, Tuan. Keputusasaan lah yang menuntun saya."

"Anda lelah menjalani hidup?" Lelaki itu tidak mengerti dan Dazai justru tersenyum lagi.

"Sebaliknya, saya mencari arti kehidupan!" Tiba-tiba, mata Dazai berbinar-binar. Belum pernah si lelaki pirang melihat ekspresi kekanak-kanakan ditampilkan oleh seorang pria dewasa sepertinya yang dilihatnya dalam wajah Dazai.

"Arti ... kehidupan?" Lelaki pirang itu tidak mengerti. Jelas, jelas dia tidak akan mengerti. Keraguan menyebar dalam mata merahnya yang serupa rubi.

Apakah lelaki ini waras? tanyanya dalam hati.

Dazai justru tertawa pelan. "Tuan pasti menganggap saya tidak waras."

Si lelaki pirang tertegun hingga tidak bisa menjawab tepat waktu. Dia amati Dazai sekali lagi, kali ini dengan lebih saksama: masih muda, mungkin umurnya awal dua puluh; cukup tampan dan pandai memikat wanita, tetapi tidak pernah benar-benar terlibat hubungan asmara; dan dia jelas pandai berdusta. Namun, apa lagi? Pandangan lelaki itu terpaku pada perban putih bersih yang mengintip dari balik kerah leher dan ujung lengan kemeja hitam yang Dazai kenakan.

"Ah, saya sering berhadapan dengan bahaya." Dazai tertawa canggung, sadar dirinya sedang diamati lagi. "Tapi jangan khawatir, perban ini sebagian cuma hiasan---anggap saja bagian dari kulit saya."

Lawan bicaranya semakin tidak mengerti.

"Kudengar ada seseorang yang menarik yang mengikuti perjamuan malam ini. Aku datang untuk menemui orang itu." Dazai sepertinya mengalihkan pembicaraan, tiba-tiba dia mengubah cara bicaranya. Jadi si lelaki pirang mengangguk pelan dan mengikuti.

"Dan siapakah orang itu, kalau saya boleh tahu?" tanyanya tanpa curiga.

"Kau orangnya, Tuan." Tatapan Dazai yang menjadi lebih gelap dari jurang malam menghujam langsung kedua rubi milik si lelaki pirang. "Sosok yang menguasai dunia bawah Kota London sampai membuat pemerintah kelimpungan ... aku ingin melihat sendiri orang seperti apakah dia sebenarnya."

Lelaki pirang itu terdiam, terlambat bereaksi dan saat dia sadar, senyumnya sudah merekah, tatapannya jadi lebih tajam hingga membuat Dazai mengangguk puas.

"Kaget?" tanya Dazai dengan guyon dalam nada suaranya. "Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan secara resmi!"

"Ah, betapa tidak sopannya saya." Lelaki pirang itu menatap Dazai lekat-lekat, mencoba mencari dalam pikirnya tentang siapa lawan bicaranya itu sebenarnya. "Saya William. William James Moriarty. Dan kepada siapakah saya bicara, jika Tuan tidak keberatan?"

"Dazai Osamu. Detektif," ujar lelaki muda itu dengan ringan. Tidak tampak lagi oleh William tanda-tanda berbahaya dari sorot mata Dazai. "Sepertinya kita akan jadi teman akrab, Moriarty-san!" []

_______🥀
Perjamuan Duka
: pesta yang diadakan pada malam-malam tertentu saat hidup dan mati hanya berbatas sekat tipis yang dinamakan hasrat.

_____🥀
Idenya sedikit abstrak, tentang percakapan William dan Dazai, duka mereka masing-masing, dan juga ... keyakinan mereka tentang dosa. Pokoknya aku merasa interaksi mereka akan menarik.

Makasih yang udah baca. Buat reader lamaku yang nunggu work lain update, pertama-tama aku akan minta maaf. Hehe.

See ya~!

Salam, penulismu yang agak stres;
Rashyda

Perjamuan Duka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang