Phase 10 🌔 Tekad

120 25 0
                                    

Saat tawa lepas Dazai terhenti enam detik kemudian, aula pesta telah dibumbungi asap tipis berwarna putih kebiruan. Lampu gantung raksasa yang semula bercahaya keemasan kini sempurna padam. Bersamaan dengan senyapnya perjamuan, musik pemakaman mengalun begitu syahdu, begitu alami, dan---anehnya---begitu romantis. Entah grup mana yang mereka sewa untuk membawakan lagu yang sebegitu unik ini, William sama sekali tidak ingin tahu.

"Ini bagus. Andai bisa kuputar di pemakaman Chuuya dalam versi yang lebih meledak-ledak," Dazai bergumam sambil lalu. Matanya yang tadi berkilat jahil pun kembali fokus menatap William, "Kembali ke topik kita, Moriarty-san. Apakah kau bersedia? Jujur saja, aku hampir kehabisan waktu."

Suara Dazai adalah perpaduan dari rasa percaya diri yang agak tenggelam dan juga tawa canggung yang coba ditutup-tutupi. Suaranya memang sedikit mengalunkan tawa. William bisa melihat jejak pengharapan dari pandangan Dazai yang dalam menusuk.

Lelaki pirang itu enggan membuka mulut. "Tentu aku bersedia, dengan beberapa syarat dan jaminan." Adalah jawaban yang mudah saja dia ucapkan. Bantuannya bisa dibatasi hanya dengan berbagi informasi dan susunan strategi. Lalu biarlah si detektif Yokohama yang mengurus sisanya. Namun, William punya firasat bahwa Dazai tidak menginginkan hal yang demikian.

Lelaki muda itu tengah mengharapkan kerja sama penuhnya. Dan hanya William seorang, tanpa Louis ataupun Albert, atau bahkan Komandan Moran yang biasa mengurusi eksekusi di tempat sulit.

"Izinkan saya mengajukan pertanyaan lain, Dazai-san." Jadi, lelaki itu harus mempertimbangkan matang-matang, "apakah situasi di Yokohama, barangkali, begitu putus asanya hingga Anda nekad meminta bantuan kami?"

"Pertanyaan itu lagi." Dazai cemberut, menghela napas dengan wajah konyol, masam, yang sulit dijelaskan.

William hanya bisa tersenyum canggung dan mulai memaklumi segala tingkah aneh lelaki muda itu. "Apakah pertanyaan saya terdengar aneh?"

Musik pengiring menjadi lebih intens. Biola yang digesek penuh emosi seakan tengah adu suara dengan lantunan muram dari piano tua di pojok perjamuan. Dua orang ballerina mengambil alih lantai dansa. Tutu sewarna madu keemasan yang seolah menyatu dengan tubuh mereka memendarkan cahaya lembut di tengah-tengah nyala lentera yang entah sejak kapan telah menerangi ruangan.

Si gadis bergaun biru yang sempat menarik perhatian William kini bersembunyi di sudut terdalam lapaknya, enggan bercampur dengan macam-macam keriuhan yang semakin menggila.

William melihat ekspresi Dazai kembali berubah. Si lelaki muda berambut cokelat gelap menggeleng pelan.

"Aneh sekali," katanya, "rekan-rekanku di Agensi tidak mengenal putus asa ataupun menyerah. Alasanku menemuimu justru sebaliknya--" Dazai tersenyum lebar saat dia menatap William dengan penuh percaya diri, "kami baru saja melihat harapan."

William terdiam. Matanya melebar penuh perhatian. "Harapan?" Tanpa sadar pertanyaan itu mengambang dari pita suaranya.

"Ya." Dazai kembali terkekeh-kekeh, seolah tengah mengenang sebuah kejadian indah, "mereka itu tidak pernah menyerah---sangat keras kepala dan berkemauan kuat. Aku mempelajari banyak hal ...."

Lelaki muda itu kembali memiliki ekspresi kosong yang menyakitkan. Dia meraih gelas anggur, memainkan cairan setengah bening yang memantulkan cahaya lentera. Tertunduk, Dazai mengukir senyum lembut sebelum menenggak habis seluruh minumannya dengan mata terpejam, khidmat dan muram.

"Anda keberatan menceritakan detailnya?" tanya William. Matanya beralih dari tingkah tak biasa Dazai ke lantai dansa yang kini diselubungi suasana syahdu nan misterius.

Tanpa William duga, Dazai menggeleng tegas. "Aku tidak bisa memercayai seseorang selain rekan kerja," katanya dengan lugas. "Jadi, Moriarty-san, aku perlu pernyataanmu terlebih dahulu. Bersediakah kau membantu kami?"

William hendak menertawakan kecongkakan lelaki muda ini jika saja itu tidak melanggar adab. Baginya, Dazai tampak seperti seseorang yang tidak pandai bernegosiasi---tidak menyadari posisinya sebagai orang yang membutuhkan bantuan. "Permintaan Anda terlalu berlebihan," katanya, "saya bukan orang yang--"

"Aku juga bisa memberimu jawaban memuaskan, Moriarty-san." Dazai menyela sambil tersenyum percaya diri. "Sejak tadi kau mengharapkan sesuatu dariku sebagai pertukaran."

Rasanya, malam ini dia sudah sangat banyak tersenyum dan tawa. Namun menyaksikan iris rubi William kembali dihiasi konflik internal membuat semua usahanya terasa sepadan---dia bisa menggunakan orang ini.

Jauh dalam lubuk hatinya, Dazai bersorak menang.

________🥀

Perjamuan Duka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang