"Lalu, di manakah letak kesalahan saya itu, Dazai-san?" tanya William sambil mengulas senyum ramah yang melenyapkan seluruh niat mengerikannya untuk membungkam Dazai menggunakan pisau buah.
Dazai menyeringai seolah sudah menantikan pertanyaan William. Dia tatap pisau buah yang ada dalam jangkauan lawan bicaranya. Pisau yang sama persis, pikir Dazai, dengan yang pernah menancap di punggungnya delapan bulan lalu. Perbedaannya hanyalah racun saraf yang tidak terlumur pada bilah perak mengilat itu.
"Kesalahanmu ada dua." Dazai menatap William lurus-lurus, "pertama, menganggap bahwa semua dosamu tidak memiliki penebusan, dan berpikir bahwa seorang pembunuh tidak bisa menjadi orang baik."
William terdiam mencerna setiap kata yang Dazai ucapkan. Dia bersumpah itu adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah seseorang sampaikan kepadanya.
Apa yang Dazai, seorang detektif, ketahui tentang perasaan bersalah yang akan seseorang dapatkan setelah membunuh?
"Masyarakat bisa menerima badut, Dazai-san. Tapi mereka tidak mungkin memaafkan seorang pembunuh."
William merasa tidak ada yang dapat membantah pemikirannya kali ini. Jadi dia utarakan semua dengan sedikit percaya diri. Namun, kedua tangannya bertaut gelisah, sedangkan irisnya yang semerah batu rubi sibuk menatap objek khayal di tengah meja.
Tidak ada yang bisa memaafkan seorang penjahat. Sudah tidak ada yang bisa dia lakukan. Saat seseorang mengambil nyawa untuk pertama kalinya, maka dia tidak akan bisa mundur lagi.
"Memang tidak," tegas Dazai.
Dan penegasan itu membuat William mengangguk lega. Pilihannya tidak salah, dia memang hanya punya satu jalan untuk menebus dosa.
"Itulah kesalahan keduamu, Moriarty-san. Hidup kita tidak bergantung pada pandangan masyarakat. Persetan dengan masyarakat. Mereka hanya sekumpulan orang---tidak, mereka hanya sekumpulan individu yang tidak mengerti apa-apa. Mereka tidak bertanggung jawab atas takdirmu." Suara Dazai berubah serius, rendah dan dalam. Seolah dia adalah sosok yang berbeda dari si lelaki muda bermata kanak-kanak yang William temui beberapa saat lalu.
Dazai terus menunduk hingga wajahnya sulit dipandang. Namun, saat William diam-diam meminta maaf karena mungkin telah menyinggung lawan bicaranya tanpa sebab, lelaki pirang itu tertegun. Dazai mengangkat wajah. Iris cokelatnya berisi segala macam emosi kuat yang bisa menghancurkan seseorang dalam waktu singkat.
"Memangnya kenapa kalau kau pernah membunuh seseorang?" tanya Dazai dengan suara rendah yang seolah datang dari jurang dunia bawah. Kata demi kata yang dia tekankan membuat bulu kuduk William perlahan meremang.
Belum pernah sang Raja Kriminal merasakan hal seperti itu. Belum pernah dia begitu terpaku pada seseorang hingga membuatnya takut. Perasaannya kala itu berbeda dari antusiasme saat berjumpa dengan Sherlock Holmes. Dazai jelas bukanlah bidak dan sama sekali tidak terbaca.
Dia adalah seorang dalang seperti halnya William. Dan dia lebih rumit dari rumus matematika mana pun.
"Itu adalah dosa, Dazai-san. Dosa yang tidak akan pernah termaafkan. Dan pendosa ... harus menerima hukuman." William tersenyum begitu sendu, begitu yakin dia bahwa takdirnya memanglah kematian yang akan membawa dirinya, iblis terakhir di muka bumi, si "penjahat tanpa hati", ke dalam neraka abadi.
"Lalu kenapa?"
"Eh?"
"Apakah karena kau pendosa, kau jadi berhak menghukum dirimu sendiri? Moriarty-san, setiap manusia jauh lebih berhak atas yang namanya pengampunan. Kita berjalan menuju sebuah akhir sambil mengharapkan pengampunan dan pengertian orang-orang. Namun kita tidak bisa mengetahui akhir yang akan menimpa kita. Itu sebabnya manusia berusaha. Itu sebabnya dunia ini dipenuhi segala macam kemungkinan." Suara Dazai berubah tajam dan berat. Ekspresi yang sejak awal sulit terbaca berubah makin mengerikan. Seakan-akan dia membawa kembali sebuah dosa paling mengerikan yang seharusnya tertidur di dasar neraka.
"Dan takdirku adalah mati di hadapan orang-orang." Hampir William mengucapkannya keras-keras jika saja Dazai tidak bicara lebih dulu dan kembali membuatnya tergugu.
"Apakah kau benar-benar berpikir seorang pembunuh tidak bisa menjadi orang baik? Aku benci mendengar kata-kata itu."
Kali ini meskipun mereka bertukar pandang, William sama sekali tidak bisa melihat dasar dari jurang gelap dalam mata Dazai. Dan saat itulah dia sadar.
Iris rubinya melebar sementara bibirnya terkatup rapat, campuran kaget dan takjub. Entah apa saja yang dia simpulkan dari tatapan dan kata-kata Dazai barusan. Beberapa detik berikutnya, William tertunduk pasrah. Menghela napas sembari memandang telapak tangannya yang pucat.
Baginya telapak tangan itu selalu bernoda darah. Selalu kotor dan menjijikkan, tidak peduli seberapa keras dia berusaha mencucinya.
"Pengampunan, kah?"
William pikir, Dazai Osamu terlalu naif dan kekanak-kanakan. Dan di saat itulah Dazai terkekeh hingga membuat William kembali bungkam. []
______🥀
Pandangan Dazai tentang masyarakat ... kubuat semirip mungkin dengan Oba Yozo. Mungkin. Kalau aku gak salah tafsir.Btw, aku kurang puas sama dua chapter ini---4 dan 5. Yah, semoga gak jelek-jelek amat :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjamuan Duka
FanfictionBungou Stray Dogs X Yuukoku no Moriarty Pertemuan William James Moriarty dengan seorang lelaki muda berambut cokelat dalam sebuah perjamuan misterius membuatnya mempertanyakan wujud putus asa yang sesungguhnya. PERJAMUAN DUKA ---Namikaze Rashyda...