Phase 8 🌕 Gagal

133 29 2
                                    

William melirik lawan bicaranya. Keheningan yang muram melingkupi Dazai seakan hawa tenang sebelum badai. Si lelaki pirang hendak mencoba mengambil atensi, tetapi tidak terpikirkan olehnya kekata apa pun di saat kepalanya sendiri riuh oleh keraguan. Pada akhirnya, kedua jenius itu sama-sama terdiam.

"Omong-omong, bagaimana Anda meninggalkan dunia bawah?"

William tidak tahan. Penasaran yang semakin berkecamuk dalam dadanya berubah menjadi badai kecil. Katakanlah ini keegoisan, keegoisan yang segera dia sesali keberadaannya, tapi sudah terlanjur dia ucapkan. Tidak seharusnya William mengusik duka lama Dazai. Namun, dia pun tidak bisa membiarkan kebisuan ini menghanyutkan akal sehat mereka berdua.

"Seorang teman lama memberitahuku untuk meninggalkan mafia." Dengan berat hati si lelaki perban menyatakan kisah silamnya.

"Dan Anda melakukannya tanpa berpikir dua kali?" Otomatis saja William menanyakan hal itu, benar-benar tanpa berpikir. Benaknya lagi-lagi terusik.

Ada yang membuatnya semakin penasaran. Tidak lagi dia pedulikan teriakan akal sehatnya yang menuntut untuk tidak menjadi egois.

Di sebelahnya, Dazai meraih botol lain; Petrus 1987. Dia tersenyum kecut, menuang anggur mahal itu dalam gelas, lalu meneguknya banyak-banyak.

Sangat jarang lelaki itu butuh waktu sebelum bicara. Biasanya dia memprediksi semua hal. Biasanya dia tahu harus berkata apa sebelum lawan bicaranya angkat suara.

"Tentu saja." Dazai mengangguk setelah dia tenggak habis satu gelas anggur. Suaranya semakin lirih, "itu adalah pesan terakhir dari seseorang yang mengenalku lebih baik dari diriku sendiri."

Atau begitulah.

Dazai bahkan tak pernah tahu bahwa si "teman lama", Oda Sakunosuke, begitu mengenalnya sampai sore itu. Sore itu empat tahun yang lalu, saat untuk pertama kalinya Dazai benar-benar merasa hancur.

Sore yang indah itu, Dazai seolah kembali menjadi anak kecil yang menangis karena sakit. Namun dia tidak bisa menangis. Air matanya tertanam jauh dalam dasar. Ada sekat tak tertembus yang menghalangi mereka mengalir keluar. Sekat itu Dazai bangun bertahun-tahun lalu, demi menutupi dirinya yang asli, yang saking menyedihkannya sampai tidak pantas lagi disebut manusia.

Dazai tidak pernah membiarkan sekat itu terbuka. Namun Odasaku berhasil meruntuhkan pertahanannya saat dia sendiri tidak benar-benar siap.

Hanya sekali itu air mata Dazai menetes.

"Dazai-san?"

Panggilan William membawanya kembali ke alam nyata. Dia kubur lagi masa lalunya, menyembunyikan isi hatinya dengan topeng jelek yang sudah dia pakai hampir seumur hidupnya. Dazai tersenyum ringan meski hatinya seperti teriris.

"Yah, itu cuma cerita saat aku remaja. Membosankan, kau tahu? Seperti pencarian jati diri dan sebagainya. Namun aku tidak pernah berpikir untuk kembali." Dazai tidak tahu kenapa dia bicara sebanyak itu padahal niat awalnya hanya ....

Benar.

Niat awalnya.

Apa itu? Kenapa dia tidak bisa ingat?

Dazai terpaku, kaget sembari menyembunyikan perasaan dengan menatap sepasang manusia yang tengah meregang nyawa.

Malam itu Dazai kembali kerasa kacau hingga keinginan bunuh dirinya kembali datang. Namun dia tidak bisa bunuh diri ataupun mundur. Yang harus dilakukannya saat ini adalah ....

Adalah apa?

"Dazai-san?" Suara lirih William tidak mencapai telinga Dazai. Lelaki berbalut perban itu masih sibuk dengan pikirannya.

Untuk sejenak William pun benar-benar tertegun. Tidak dia sangka akan melihat ekspresi paling polos dan menyakitkan yang bisa ditunjukkan seseorang berada di wajah sosok gila di sebelahnya. Diam saja Dazai di sana, terduduk dan menunduk. Matanya seperti rusa kecil yang hilang arah, bergetar, menggambarkan hatinya yang sakit digemuruhi badai.

Dazai kembali meneguk anggur. Dia sadar sudah lalai. Hatinya semakin dipeluk rasa takut saat melihat sekilas tatapan William. Simpati. Rasa kasihan yang hanya ditujukan pada seorang manusia malang kini terarah kepadanya. Dazai sama sekali tidak terima. Dia benar-benar takut topengnya terbuka. Oleh karena itu, meski pikirannya sudah tidak karuan, Dazai Osamu mulai tertawa-tawa---tawa jelek memuakkan yang selalu mendapatkan murka dari Kunikida.

"Kau harus tahu betapa susahnya hidupku sekarang, Moriarty-san! Mereka di tempat kerja baruku tidak membiarkan aku bersenang-senang. Apalagi Kunikida-kun, dia terlalu ketat!" Dazai mencibir dengan ekspresi paling menjengkelkan yang dia bisa, "Kadang aku rindu sentuhan wanita, kau tahu~ mengungkapkan romantisme yang manis lalu bunuh diri bersama~! Ah, indahnya ...."

Dazai berpura-pura ceria, berpura-pura mabuk, berpura-pura setengah putus asa---ya, apa pun, apa pun! Apa pun yang akan membuat William berpikir bahwa perangainya tadi disebabkan oleh anggur.

Dia benar-benar kehabisan akal---benar-benar berada di ujung jurang, di ujung putus asa! Dan karena William sudah melihat ke balik topengnya saat ini, Dazai tidak akan punya pilihan selain mendekati sang Raja Kriminal untuk memastikan dia tidak mengungkapkan sisi asli Dazai pada manusia lain.

Sementara William menatapnya sambil tersenyum. Seolah mengerti apa yang diteriakkan oleh tingkah laku menyebalkan Dazai yang mendadak dan tidak konsisten. 

"Begitu, ya," ujar si lelaki pirang, "pasti lelah mengingat posisi Anda yang dulunya sangat tinggi." William mengulurkan botol lain dengan baik hati. Dia sendiri tidak berniat minum lagi.

"Ah, aku senang kau paham maksudku! Itu dia! Mereka semua perhatian, tapi ... di satu sisi ... aku berbeda dari mereka ...."

Dazai terdiam lagi. Dia telungkupkan kepalanya dalam lipatan tangan.

Sumpah, sumpah! APA YANG BARU SAJA DIA KATAKAN LAGI? Ada apa dengannya saat ini?

Dazai benar-benar ingin mati. Dia kacau, panik, dan tidak bisa berpikir, dan benar-benar ingin mati.

"Lihatlah betapa menyedihkannya aku sekarang, Odasaku ...," gumamnya di sela-sela kekacauan hening itu.

Dazai benar-benar ingin melarikan diri dari tempat terkutuk itu, tetapi tidak bisa. Jika dia gagal sekarang, dia akan kehilangan alasan hidup, mungkin untuk selamanya. []

_____🥀
Aku bisa bikin beribu-ribu kata buat menggambarkan kekacauan dalam diri Dazai, tapi mari berhenti di sini. Dia bisa rusak kalau kupaksa lagi.

Sampai jumpa:)

Perjamuan Duka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang