Phase 3 🌗 Wujud Keputusasaan

213 41 3
                                    

“Sastra dan keindahan hanya membawa sengsara bagi mereka yang tidak mau mengerti bahagia,” kata Dazai tiba-tiba. “Hidup ini membosankan, Moriarty-san. Isinya tidak lebih dari sekumpulan kejadian biasa yang seringkali kita besar-besarkan.”¹

“Apakah begitu?” William meneguk anggurnya. Sejujurnya, dia tidak suka minum, tetapi saat ini sang Raja Kriminal butuh sesuatu untuk membasahi tenggorokannya yang teramat kering.

“Moriarty-san pasti mengerti kalau membaca buku karangan Kawabata. Walau aku pribadi tidak terlalu suka pada orang itu.”² Nada yang dipakai Dazai adalah campuran dari rasa pahit dan percaya diri yang entah datang dari mana. Dia tertawa hambar seolah sedang mengingat satu kejadian yang kurang menyenangkan.

William tidak terlalu mendengarkan. Dia kembali sibuk dengan riuhnya keputusasaan dalam ruangan. Sekarang, musik yang beralun memiliki rasa lembut mematikan. Tiga pasang muda-mudi yang baru bertemu satu jam lalu tengah menguasai lantai dansa. Mereka bertukar senyum lembut dan menatap kedalaman mata pasangan masing-masing. Semuanya tampak bahagia. Semua tampak tidak terluka karena duka memanglah bukan perkara fisik.

Salah seorang gadis---yang berambut cokelat emas dan mengenakan sanggul---menanggalkan kalung peraknya, satu-satunya perhiasan yang dia kenakan saat itu.

Si gadis bersama pasangan satu malamnya beranjak ke sebuah kedai prasmanan kecil yang terletak di sudut paling gelap ruangan pesta. Seorang nenek peyot tersenyum saat menerima kalung perak, kemudian menukar benda berharga tersebut dengan dua porsi steak ikan fugu yang diolah tanpa bantuan profesional.

Pasangan itu telah dimabuk cinta pada belaian dewa kematian. Mereka duduk di meja bundar, bertemankan biduan berwajah pucat yang masih melantunkan syair-syair melankolisnya.

“Selamat tinggal.” Mereka bergumam sembari bertukar suapan dan saling menggelepar dalam rasa lapar akan kematian.

William menyaksikan semuanya. Semua itu tidak waras. Dia tidak mengerti dengan baik alasan orang-orang ini begitu menikmati racun dan keputusasaan.

Bukankah putus asa adalah nama lain dari derita? Lantas kenapa orang-orang ini tetap bertukar senyum seolah mereka bahagia?

“Sudah kuduga.” Dazai tersenyum sembari bertopang dagu dan menatap William. “Moriarty-san benar-benar menarik! Bisa-bisanya ada seseorang yang datang ke tempat ini tanpa mengetahui wujud sebenarnya dari keputusasaan!”

Binar itu lagi. Binar kekanakan yang hanya bisa kau lihat dalam mata seorang bocah yang diberi mainan baru. William mulai membenci fakta bahwa Dazai membicarakan putus asa dan kematian dengan nada kelewat ceria---berbanding terbalik dengan sisi melankolis yang selama ini William rasa.

“Apa maksud Anda, Dazai-san?” Kali ini William tersenyum ramah, dia coba menyembunyikan perasaan tidak nyaman yang sudah berputar-putar entah sejak kapan.

Lelaki pirang itu ingin meninggalkan perjamuan sesegera mungkin. Dia tidak tahan lagi!

“Aku sedang membicarakan reaksimu, Moriarty-san. Reaksimu terhadap senyum dan tawa di tempat ini benar-benar menarik---benar-benar aneh.” Dazai menekankan kata terakhirnya seolah itu adalah bagian terpenting dari diri William saat ini.

“Aneh?”

“Ya. Mereka semua hendak menemui maut yang kejam. Apa salahnya tertawa dan menari untuk terakhir kali?” Tatapan Dazai kini menerawang. “Aku pun, kalau diizinkan bertemu Shinigami-san, pasti akan minum wine termahal di dunia sebagai salam perpisahan!”

“Lantas, apakah tawa dan senyum mereka adalah bagian dari keputusasaan?” tanya William.

“Tentu.” Dazai mengangguk antusias. Kata-katanya mengalir seolah-olah.dia tengah berbicara tentang dirinya sendiri. “Apa Moriarty-san pernah bertemu badut? Mereka adalah contoh paling gampang---dibayar untuk tertawa dan menghibur orang dan menepikan perasaan pribadi mereka yang hancur. Sedangkan orang-orang itu tidak pernah menyadari perasaan si badut. Tapi beberapa badut tidak dibayar. Dan masyarakat bahkan tidak sadar bahwa mereka sedang diberi akting lawak murahan yang membutuhkan usaha seumur hidup dari badut kita ini.”³

Obrolannya semakin aneh saja. William pun semakin yakin bahwa tempat ini bukanlah yang dia butuhkan. Namun, ada satu penasarannya yang mungkin bisa dijawab oleh Dazai.

Entah kenapa, dia merasa begitu.

“Masyarakat, ya,” gumam si lelaki pirang sembari menatap kotak asbak yang tergeletak di tengah meja, tepat di samping sup jamur death cap.

Masyarakat pasti akan menerima badut dengan senang hati. Namun, mereka tidak akan pernah memaafkan seorang pembunuh berantai. Dengan pemikiran seperti itu, sekali lagi William mengamati tingkah laku si lelaki muda yang mengaku bernama Dazai Osamu.

Di mana dia pernah mendengar nama itu sebelumnya? []

_______ 🥀
Ikan Fugu/ikan buntal mengandung tetrodotoxin yang mematikan. Memang bisa diolah jadi makanan, tapi chef yang mengolahnya harus memiliki keahlian tertentu, tidak bisa dilakukan sembarang orang. (Kalo gak salah, chef-nya harus punya semacam lisensi)

__________🥀

🌺 Baca ini untuk trivia kurang penting dan secuil referensi sastra! (atau : silakan skip karena mungkin kurang menarik)

¹ "Hidup ini membosankan, tidak lebih dari sekumpulan kejadian biasa ....." Dialog (Dazai) ini kuambil dari kutipan dalam salah satu cerita pendek irl Dazai yang berjudul "Kisah Keluarga" (belum tau judul Jepang-nya. Aku suka cerpen ini. Dimuat dalam kumcer "Tentang Cinta dan Keindahan", terbitan Vita Litteras, 2022)

Kutipan aslinya begini : “Hidup bukanlah drama yang terdiri dari satu demi satu momen mendebarkan. Kita dilahirkan untuk menghabiskan sebagian besar hari di tengah realitas yang hambar dan suram.”

² Waktu membaca bukunya Kawabata Yasunari, "Deru Gunung", aku langsung ingat kutipan di atas. Ya, benar, dalam buku itu konflik rumah tangga si tokoh utama digambarkan sebagai "realitas yang hambar dan suram". Bahkan cenderung membosankan, tapi tetap menarik dibaca.

² Kesan tipis kalau "Dazai gak suka sama Kawabata" dalam fanfiction ini sendiri sebenarnya agak tanpa alasan. Tapi di dunia nyata, Dazai-sensei ngarep banget dapat penghargaan "Akutagawa Prize" tapi karyanya gagal jadi juara sampai dia putus asa.

KATANYA salah satu penyebab kekalahannya adalah komentar buruk dari seorang juri. Dan jurinya itu Kawabata.

³ pendapat Dazai tentang badut. Merepresentasikan Oba Yozo, tokoh utama dalam novel terkenal karangan Dazai-sensei, No Longer Human. Sedangkan Yozo diyakini merupakan penggambaran dari sosok Dazai-sensei itu sendiri. Sedikit banyak Yozo juga jadi referensi dari karakter Dazai BSD.

Karena ini adalah fanfic Bungou Stray Dogs (crossover sama Moriarty the Patriot), kadang aku masukin sedikit trivia tentang sastra/sastrawan karena itulah cara Asagiri-sensei (author BSD) menulis karyanya. Yah, tentu selain karena nama karakter BSD diambil dari nama-nama sastrawan :v  plus, kebetulan yang menyenangkan, Moriarty juga diambil dari karya sastra punya Conan Doyle.

Love it.

See? Kurang penting, kan? Haha. Oke, see ya~! 🌺

Perjamuan Duka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang