"Heh, Fitri. Segera bayar hutang kalian!" suara tersebut muncul di depan pintu masuk mengagetkan kedua wanita berbeda usia itu. Ibu Ameera dengan segera menghampirinya.
"Aduh, Codet. Ini kan masih belum jatuh tempo. Nanti juga akan di bayar. Kasih kami waktu sebentar lagi untuk melunasinya," kata Ibu Ameera dengan halus.
Codet, si rentenir mencibirnya. "Alah pokoknya kalian harus segera bayar utang kalian yang seratus ribu. Di tambah dengan bunganya jadi dua ratus ribu. Kalo enggak, putrimu itu aku bawa buat jadi istriku,"
Ibu Ameera ketakutan mendengar hal tersebut. Ameera sendiri merasa jijik melihat pria bernama Codet itu. Bahkan pria tersebut tidak masuk kriteriaku sama sekali, batinnya.
"Kasih kami waktu seminggu lagi. Aku juga nanti kasih bunganya lima puluh ribu," timpal Ameera berjalan mendekati Ibunya.
Sedangkan si Codet tersenyum mesum menatap Ameera. "Oke. Aku tunggu seminggu kemudian. Tapi kalo minggu depan kalian enggak bayar, siap-siap aja kamu jadi istriku. Hahaha,".
Setelahnya si Codet pergi. Ibu menatap Ameera khawatir. "Nak, gimana caranya kita dapet uang segitu. Penghasilan dari panen di ladang bahkan nggak cukup untuk bayar utang si Codet,"
Meskipun Ameera adalah nona kaya raya di kehidupan pertama, bukan berarti ia adalah anak yang manja. Kenyataan ia memiliki penyakit jantung, tidak menghalangi ia untuk belajar bisnis. Apalagi kedua orangtuanya adalah pemilik perusahaan properti besar di kotanya. Sedikit banyak ia mengerti di tambah ia juga lulusan terbaik di Universitas dulunya.
Lagipula, dengan kondisi tubuhnya sekarang Ameera dapat melakukan apapun sesuka hatinya tanpa takut jika penyakit jantungnya kambuh. Fisik tubuhnya sekarang sangatlah kuat. Dia tidak akan khawatir tentang hal tersebut.
"Ibu nggak perlu khawatir. Aku kan lulusan SMA, jadi pasti bisa buat cari uang. Meski bukan lulusan terbaik, tapi aku punya rencana buat dapetin uang kok," katanya dengan percaya diri.
Ibu Ameera masih ragu. Pasalnya untuk mencari uang saat ini sangat sulit. Belum lagi kondisi keluarga mereka yang sangat miskin.
"Yaudah, Ibu percayakan sama kamu. Oh ya, kamu belum makan kan. Di dapur masih ada kentang dan ubi rebus manis. Kamu istirahat aja dulu biar cepat pulih,"
Di tahun ini, beras masihlah langka di desanya. Karena kondisi tanah yang tidak sesuai, para petani ladang kebanyakan memilih menanam jagung, singkong, kentang dan ubi manis.
Ameera merasa miris dengan kondisi di desa ini. Kesenjangan sosial di era ini benar-benar membuatnya ingin mengubah sesuatu agar desa ini menjadi asri.
Makan hanya dengan kentang hanya bisa membuat kerongkongannya kering. Itu tidak cukup untuk mengenyangkan perutnya. Ia harus bisa membeli beras, daging dan lainnya.
Kemudian ia mulai terpikirkan sesuatu. "Bu apakah kita masih memiliki jagung untuk di rebus?" tanya Ameera setelah menemukan sebuah ide.
"Di belakang ada sisa sekitar 10 kg kayaknya. Memang buat apa, Nak?" tanya Ibu Ameera dengan heran.
"Oh iya. Bapak sama Felix juga nanti bawa hasil panen dari ladang,"
Ameera memikirkan untuk menjual jagung rebus, ubi rebus manis dan juga ubi bakar manis. Kemungkinan jika kentang mentah bisa di jual, ia bisa mempertimbangkannya. Jiwa bisnisnya kini sedang meluap-luap. Apalagi di tahun ini banyak sekali bahan makanan yang bisa ia jadikan sebagai peluang bisnis.
"Aku ada ide buat dapet uang. Kita bisa bayar utang kita lebih cepat sama si Codet," ujarnya mengutarakan rencana yang ia susun.
"Ameera, kamu udah sehat, Nak?" sebuah suara muncul di depan pintu masuk. Itu Bapaknya di susuk sosok sang Kakak, Felix.
"Iya, Pak. Aku udah sembuh kok."
Gadis itu melihat hasil panen Bapaknya sangat banyak. Wah ini peluang bisnis yang pasti akan menghasilkan uang. Di desa kebanyakan hasil panen mereka simpan untuk makan. Makanya belum ada metode untuk menjual hasil panen.
"Syukurlah kalo gitu. Jangan sampe sakit lagi dek. Kita khawatir sama kamu," sahut Felix. Saat ini usia Felix sudah memasuki 19 tahun. Kulitnya kuning langsat, wajahnya lumayan tampan dengan badan kekar karena sering angkat barang berat.
Felix hanya lulusan SMP. Dikarenakan ia ingin membatu Bapaknya kerja di ladang. Ia tahu kondisi keluarganya yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah. Namun berbeda dengan Ameera. Keluarga mereka berusaha keras agar gadis itu bisa tamat SMA. Meski harus pinjam uang kepada rentenir bernama Codet itu.
"Oh ya kak. Nanti kita ke kota yuk. Aku ada cara buat dapetin uang," ajak Ameera pada Felix. Bapak mengernyitkan dahinya.
"Emang gimana caranya dapetin uang, Nak? Sekarang di desa kita susah banget buat cari uang," tanya Bapak.
"Iya, dek. Gimana caranya?" Felix menimpali dengan penasaran.
"Bapak nggak usah khawatir soal itu. Aku ada caranya. Oh ya kak, kita ke sungai yuk buat mancing ikan," ajak Ameera.
"Tapi, sekarang agak susah buat nyari ikan," jawab Felix. Di desa mereka meski ada sungai jernih dan banyak ikan, akan tetapi keadaan sungai yang mengalir deras juga cukup berbahaya. Para warga di desa mereka memilih jalan aman untuk tidak memancing di sungai.
Namun itulah peluang yang Ameera cari. Di desa mereka sekarang belum ada metode memancing ikan menggunakan alat pancingan. Belum lagi alat pancing yang mahal harganya.
Sebagai gadis yang hidup di era modern, Ameera tahu langkah untuk mendapatkan ikan di sungai.
"Kakak tenang aja. Aku ada metode kok buat dapetin ikan," Ameera berkata dengan percaya diri. Felix mengiyakan ajakan adik tengahnya ini.
******
TBC...