"Kau sungguh akan pergi?"
Pertanyaan bernada lirih itu menghentikan langkah Raquel yang sudah di ambang pintu. Sembari mengeratkan genggaman pada tali tas ranselnya, ia memejam dan membiarkan genangan air beningnya kembali meleleh.
"Jangan hentikan aku."
"Kau benar-benar akan meninggalkanku?"
"Diego."
Diego mengesah. Perlahan tapi pasti, laki-laki jangkung itu memangkas jarak di antara mereka dan membalik pundak Raquel agar menghadapnya.
"Mia cara, kumohon."
"Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini, Diego. Aku tidak bisa terus-menerus menjadi alasan dibalik perang yang melibatkanmu dan banyak orang."
"Raquel." Tangan Diego terulur mengusap air mata yang mengalir di pipi wanitanya. "Jangan menangis. Aku tidak punya masalah dengan perang. Aku bisa menghadapinya. Aku siap bertarung dengan siapa saja asal kau selamat."
"Tapi aku tidak." Raquel mengangkat atensinya pada netra abu-abu milik Diego. Laki-laki itu sedang menatapnya sayu, berbinar dan penuh harap.
"Aku tidak bisa melihatmu terluka lagi. Aku tidak mau menjadi penyulut perselisihan antara gangstermu dengan gangster lainnya lagi. Aku tidak mau menjadi bebanmu lagi. Aku tidak siap melepasmu baku tembak lagi. Aku tidak siap. Aku sungguh-sungguh tidak siap."
"Kau sudah kuperingatkan berkali-kali jika kau bukan beban, kan?"
Helaan napas Raquel menyiratkan kesesakan batinnya. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat kala laki-laki berkemeja hitam itu menarik kepalanya mendekat dan mengecup keningnya.
"Apa kau tidak mengerti? Jika kau tidak masalah, tapi aku masalah." Raquel berusaha sekuat tenaga menelan getaran dalam suaranya. Perlahan, ia coba meloloskan diri dari kungkungan Diego namun gagal saat dia lebih dulu mengunci pinggangnya.
"Lepaskan."
"Kau suka berada dalam pelukanku, kan?"
Raquel berdecak. Jawabannya ya tapi tidak untuk saat ini.
Setidaknya setelah apa yang terjadi dua minggu yang lalu.
"Aku tidak mengerti kenapa kau begitu keras kepala. Apa kau tidak pernah melihat posisiku? Aku hanya ingin pergi. Jadi tolong lepaskan dan jangan mempersulit keadaan."
"Padamu? Keras kepala? Yes, I am. Tapi melihat posisimu, aku selalu melakukannya. Melepasmu pergi? Itu sama sekali bukan aku, Raquel."
Sekali lagi, dengan cepat dan rakus, Raquel menyedot udara banyak-banyak dan mengembuskannya lambat-lambat, semaksimal mungkin memblokir hormon kortisolnya yang mulai meningkat.
Come on.
Sikap Diego yang kelewat santai dan seolah tidak terjadi apa-apa kadang melambungkan kekesalan sekaligus kegemasannya.
Dia bukan anak kecil, tapi berlagak seperti balita yang sulit paham. Dia bukan malaikat, tapi berperilaku seperti tidak pernah dilanda kepanikan ataupun pikiran-pikiran buruk.
Apa dia tidak mengerti hal sesimpel 'sadar diri dan merasa bersalah' yang menggelayuti Raquel setelah insiden berdarah tempo hari?
Atau dia pura-pura tidak paham dan denial?
"Kuulangi, tolong lepaskan aku. Sudah terlalu banyak masalah yang kutimbulkan. Bukan kali ini saja, sebelumnya kau juga terkena tembakan karena melindungiku. Kau hampir mati. Simone hampir mati. Kau pikir aku tidak merasa bersalah karenanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lonely Pieces
Romance"Lonely Pieces" adalah sebuah antologi yang akan memuat beragam cerita pendek. Beraneka jenis. Bermacam tokoh. Kebanyakan akan bergenre romantis. ~~~ "Maafkan aku, Marc. Maafkan aku." ~~~ Kalau ada suatu keajaiban yang akan terjadi di hidupnya ent...