PENCARIAN

24 4 0
                                    

Lea bersandar di balik pintu kamarnya. Ia sadar tengah berada di ambang kehancurannya. Bagaimana jika Leo mengetahui siapa dirinya dan memerintahkan perusahaannya untuk memecat Lea karena memergokinya di bar? Dengan begitu, maka akan semakin sulit bagi Lea untuk melanjutkan rencana yang sudah ia buat sejak lama. Ia memukul kening karena kesal pada dirinya sendiri. "Bego! Tolol! Kenapa gue rekam mereka? Ini bukan Kartu AS lagi namanya. Ini mah bikin bunuh diri." Tubuhnya seperti meleleh di atas lantai. "Gimana dong ini? Gimana kalau dia ingat wajah gue dan cari tahu tentang gue? Mampus lah."

Di tengah-tengah kegelisahannya, seseorang mengetuk pintu dari luar. "Lea?"

Lea mendengar suara Daru dari balik pintu. "Mas Daru?" Ia segera bangkit berdiri dan membuka pintu. "Mas Daru belum pulang?"

"Ini." Daru mengembalikan ponsel Lea. "Ketinggalan di mobil."

Lea membulatkan kedua mata. "Astaga! Aku nggak sadar handphone aku ketinggalan. Makasih ya, Mas."

"Hm," sahut Daru singkat. Ia sedikit menunduk untuk memastikan wajah Lea. "Kamu nggak apa-apa?"

"Ya?"

"Kamu pucat banget. Nggak lagi sakit kan?" Daru meletakkan telapak tangannya di kening gadis itu hingga membuatnya salah tingkah. "Nggak demam kok."

Lea tertawa canggung. "Mungkin sedikit ngantuk aja, Mas. Sudah tengah malam juga soalnya."

"Ah, iya ya. Kalau gitu saya pulang dulu. Kasihan Salma sudah tumbang." Daru tertawa pelan sembari menunjuk mobil yang masih diparkir di depan tempat tinggal Lea. "Kunci pintunya."

"Hm. Hati-hati, Mas." Lea masih berdiri di depan pintu hingga Daru masuk ke dalam mobil dan meninggalkan area tempat tinggalnya. Ia menghela napas panjang. Belum sempat ia merasa lega, Lea sudah diingatkan dengan video Leo. "Videonya!" Buru-buru ia masuk ke dalam rumah dan mengambil laptop dari meja kerjanya. "Ah, nggak. Nggak boleh dipindahin ke laptop. Bahaya kalau ada yang pinjam di kantor." Lea pun memutar otak. "Biar aman..." Ia membuka laci meja kerja lalu mengeluarkan flashdisk dari dalamnya. "Gue tahu harusnya gue hapus video ini. Tapi nggak mungkin gue buang begitu aja kalau gue bisa gunain ini suatu saat nanti."

***

Sudah Lea duga, pulang ke rumah adalah pilihan yang kurang tepat. Ayahnya baru saja menerima seorang tamu yang tidak lain adalah teman akrab ayahnya sejak kecil. Bukan bertemu keluarga yang membuat Lea rasa tidak tepat, tetapi pembahasan dua orang laki-laki tua itu yang membuatnya ingin segera pergi dari rumah. 

"Jadi Lea belum bawa calon sampai hari ini juga?" tanya teman ayahnya. "Kasihan lho Papanya harusnya sudah gendong cucu."

"Nggak apa-apa. Papa tua pun masih sabar nunggu kok." Lea mengambil piring kosong yang sebelumnya berisikan semangka dari atas meja. "Cemilannya sudah habis, stok kopi kami juga." 

"Lea..." Ayahnya memperingati. Laki-laki itu tahu Lea sedang mencoba untuk mengusir tamu mereka. "Maaf ya, Ali, dia suka begitu."

Teman ayahnya yang bernama Ali itu tertawa kuat. "Nggak apa-apa, Hans. Saya kan sudah kenal dia dari kecil. Kebetulan saya juga harus ke rumah anak saya. Cucu saya ulang tahun hari ini."

"Harusnya Om Ali pergi ke rumah cucu Om Ali dari pagi. Kan hari special."

"Lea, stop."

Ali hanya mengangguk sambil tertawa. "Iya sih. Tapi gimana dong? Saya ada urusan sama papa kamu." Ali bangkit berdiri. "Kapan kamu main lagi ke rumah ini, Lea? Nanti Om Ali datang juga."

Lea memutar bola mata sambil berlalu. "Nggak tahu."

"Astaga, Lea!" Ayahnya makin kesal. "Ali, maaf ya."

SCANDAL MAKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang