Hentakan sepatu kets di lantai kedai kopi menambah kebisingan suara. Seorang gadis keluar dari kedai dan memilih meja luar yang disediakan oleh pemilik kedai bagi para perokok. Ia memeriksa ponsel. “Kemana sih tuh orang?”
“Lea!” teriak seorang laki-laki. “Sorry, sorry. Tadi sedikit macet.” Ia duduk di hadapan Lea. “Sudah lama?”
“Banget. Sibuk lo?”
“Macet.” Sekali lagi temannya menjelaskan. “Ya… beberapa kerjaan harus diselesaiin sore tadi dan ada meeting sebentar, mendadak. Lo sih ngajak ketemu tiba-tiba begini. Ada apa lagi?”
Gadis bernama Lea itu mendekat pada temannya. “Bisa nggak gue balik ke kantor lo?”
“Cih!” Laki-laki berparas bak model itu tertawa. “Kenapa lagi? Ini nih ya… gue mulai bisa baca lo sudah di titiknya. Muak?”
“Gue pusing, Nat. Anchor gue tuh pada susah semua dibilangin. Mana si kampret Benni belakangan marah melulu. Bisa gila gue.” Lea memijit keningnya.
Nathan menyeringai. “Kan itu pilihan lo buat pindah ke TV. Sekarang lo mau balik ke koran atau online? Nggak salah? Lamar di bank aja sana.” Nathan melipat kedua tangan di depan dada. “Sudah bagus dulu masuk di tim gue.”
“Heh! Kerja sama orang gila kayak lo itu cuma bikin gue pergi ke psikiater tiap gajian.”
Nathan menahan senyum. “Tapi anak buah gue betah sama gue.”
“Mereka BU. Biaya hidup itu makin tinggi. Gue rasa cewek yang lo suruh buat back up anak lain itu juga bakalan resign.”
“Cassandra? Dia nggak bakal resign. Apapun caranya, gue nggak bakal biarin dia resign.” Nathan bangkit berdiri. “Kalau perlu gue culik itu anak.”
“Psycho lo ya?”
“Gue pesan kopi dulu. Gue punya banyak kenalan anchor bagus kalau lo tertarik buat ganti salah satu dari mereka. Lo bisa saran ke bos lo.”
***
Seorang gadis meneguk minumannya yang entah sudah gelas ke berapa. Meski ia kuat dalam mengonsumsi alkohol, Lea tidak pernah mau melewati batas. Malam itu ia sudah merasa kepalanya hampir pecah setelah menerima hasil rapat yang membuatnya tersudut. Ia yang biasanya adalah seorang pekerja keras, bahkan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja, mengalah pada mentalnya yang butuh istirahat. Lea menerima ajakan salah satu rekan produsernya untuk merayakan kelulusan S2-nya di sebuah bar. Niat ingin bersenang-senang dan melupakan masalahnya, Lea justru mendapatkan beban berat ketika wanita di sampingnya merancu aneh.
Ia melihat sahabatnya, Salma, sudah tidak lagi dapat diandalkan untuk mengendarai mobil mereka malam itu. Karena sudah menebak akan terjadi hal yang tidak-tidak, Lea sudah menghubungi kakak laki-laki Salma setengah jam lalu.
“Leaaa.” Salma menarik lengan kemeja Lea. “Malam ini lo yang nyetiiir.”
Lea menampis tangan Salma. “Nggak bisa. Gue juga konsumsi alkohol. Gue sudah telpon Daru.”
Salma membulatkan kedua matanya. “Daru?? Kenapa lo telpon kakak gueee?” Salma masih cukup sadar mendengar nama kakaknya disebut. “Gue bisa dibunuh.” Sudah tidak kuat, Salma terkapar di atas meja.
Lea menghela napas panjang melihat kelakuan Salma. “Itu yang gue mau.” Ia meneguk sekali lagi minumannya. “Gue yang depresi, dia yang mabuk.”
“Sorry, Lea?” suara seorang laki-laki membuat Lea menoleh.
“Oh, Mas Daru.” Lea melirik Salma. “Baru nggak sadarkan diri.”
Daru menghela napas. “Anak ini benar-benar deh.” Daru mengguncang bahu adiknya. “Salma, bangun. Jangan tidur di sini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SCANDAL MAKER
Storie d'amoreSCANDAL MAKER Lea adalah seorang pekerja keras yang akan melakukan apapun demi perusahaan tempatnya bekerja, bahkan jika harus menghabiskan 24 jam dalam sehari. Ia sudah berhasil menjadi seorang produser acara berita. Meski tidak sesukses yang ia h...