Transaksi jual beli yang tengah berlangsung di kedai makanan siap saji tampak ramai oleh pelanggan--meski hanya diminati oleh warga setempat. Memang yang paling dominan adalah pembeli dari para pekerja di kebun teh mengingat pagi-pagi sekali mereka sudah harus stand by di tempat. Sudah pasti kebanyakan dari mereka ada yang tidak sempat memasak atau membawa bekal, sehingga membeli sarapan maupun makan siang dari olahan kedai tersebut.
"Raline, hari ini kamu ya yang mengantar pesanan Juragan Bono," kata Ibu Juju--pemilik kedai.
Wanita yang baru saja mengangkat nasi matang menoleh dengan kerutan dahi. Tentu saja pemilik kedai langsung melanjutkan ucapannya, "Katia hari ini tidak masuk karena mau ke puskesmas membawa anaknya yang sakit."
Bibir wanita berusia 26 tahun itu hanya membulat seraya mengangguk.
Ibu Juju mengambil alih tugas Raline yang hendak mengaduk nasi panas. "Sudah, ini biar Ibu yang mengerjakan. Kamu langsung antarkan saja pesananannya. Soalnya tamu Juragan Bono sudah datang dari tadi dan sekarang waktunya makan siang."
"Tamu Juragan Bono? Siapa, Bu?" Raline malah berdiam diri seraya menunggu jawaban karena begitu penasaran.
"Hoalah, malah kamu yang penasaran. Yang jelas mereka adalah bakal calon pemilik lahan perkebunan selepas Juragan Bono."
"Loh, kenapa dijual? Bagaimana nanti nasib pegawai lainnya? Warga desa kita bisa makin terpuruk kalau sampai kehilangan sumber mata pencaharian tetap," keluh Raline sedih--seakan tidak terima.
"Perkebunan tetap berjalan, tapi beda pemilik saja. Kalau saja dua putra mahkota ndablek itu punya otak waras, Juragan Bono pasti masih mempertahankan lahan perkebunannya," gerutu Ibu Juju sembari mengipasi nasi yang masih berasap. Sungguh, jika mengingat dua putra tertua sang juragan rasanya jiwa keibuannya ingin sekali menjewer telinga yang tidak bisa dinasihati itu.
"Sayang sekali. Pasti Juragan Bono sangat bersedih kehilangan perkebunan yang selama ini--"
"Astaga, malah dia drama melow di situ." Ibu Juju bangkit dan menarik lengan Raline, lalu menyerahkan bungkusan plastik yang berisi beberapa nasi kotak. "Cepat sana antarkan! Jangan sampai terlambat, loh! Nanti dikiranya kedai kita tidak tepat waktu," titahnya tegas sambil mendorong punggung Raline ke pintu.
Mau tak mau, sebagai pegawai teladan Raline harus melaksanakan tugas lumrah tersebut. Ia mengayunkan langkah kaki walau sebenarnya sangat enggan bertandang ke perkebunan. Sebagai mantan pegawai di sana, Raline sudah tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang di perkebunan.
Banyak omongan tidak sedap yang akan didengarnya jika sampai saling berjumpa. Itulah sebabnya di kedai Raline hanya bertugas di bagian belakang agar tidak berhadapan langsung dengan warga maupun para pegawai perkebunan.
Citranya sebagai gadis desa cukup buruk. Tiga kali menolak lamaran para pemuda ditambah dua lainnya adalah seorang duda yang berprofesi sebagai mandor yang dianggap sudah sangat mapan.
Tatina selaku bibi yang merawatnya sejak ayahnya Raline tidak ada sampai berang pada keponakan ajaibnya yang dianggapnya sombong karena mengabaikan pinangan para lelaki. Raline tak mau peduli, bahkan ia sudah menulikan pendengarannya ketika label 'perawan tua' melekat padanya.
"Raline, kamu mau ke mana?"
Pijakan kakinya terhenti seketika. Pandangan Raline yang sedari tadi hanya terfokus pada jalanan berkerikil perlahan mendongak. Terlihat seorang wanita berbadan dua tepat di hadapannya.
"Loh, Mbak Meyra sendirian saja? Memang Mbok Sami mana?" Raline malah balik bertanya sembari mengedarkan pandangan mencari sosok wanita paruh baya yang menemani tinggal bersama wanita cantik ini.
"Ada di rumah. Mumpung cuacanya tidak terlalu panas, makanya sengaja jalan-jalan saja sendirian sekalian mau mampir ke kedai Bu Juju," sahut Meyra sambil mengelus perut bundarnya di balik baby doll. "Ngomong-ngomong pertanyaan aku belum dijawab, loh," kekehnya mengerling.
Raline menepuk keningnya saking terpesonanya pada kecantikan wanita kota yang sudah beberapa bulan menetap di desanya. "Mau mengantar ini ke perkebunan," jawabnya seraya menujukkan bungkusan plastik di tangannya.
"Buat Juragan Bono?"
"Iya, Mbak."
"Ya, sudah kalau begitu aku duluan, ya." Wanita hamil itu mengelus sebentar lengan Raline sebelum melanjutkan langkah.
"Hati-hati, ya, Mbak!" Senyum Raline mengembang menerima acungan jempol Meyra. Sepasang manik hitamnya masih betah memperhatikan punggung wanita ramah itu menghilang dari pandangannya.
Raline memutar badannya--kembali menyusuri jalan yang mengarah pada tujuannya. Dari kejauhan terlihat sekumpulan pekerja yang keluar dari area kebun teh. Raline lekas memutar arah tepat di pertigaan. Ia memilih rute yang sedikit jauh dari ruas jalan seharusnya demi menghindari bisik-bisik ataupun ejekan menohok untuknya.
Raline mempercepat langkah karena tidak mau terlambat membawa barang pesanannya. Sampai ia tidak memperhatikan jika ujung sandalnya tersandung kerikil tajam hingga tubuhnya oleng dan nyaris limbung ke tanah jika pinggangnya tidak ada yang menyangga.
"Makanya hati-hati. Kalo sampai jatuh kira-kira berapa ganti rugi yang harus kamu bayar dari barang bawaanmu ini?"
Sontak saja Raline mengangkat wajahnya mengenali suara menyebalkan dari pria yang sudah ditandai dengan redflag. Satu alis pria itu menukik tajam diselingi senyum sinis. Raline lekas menyingkirkan tangan yang menyentuhnya.
"Ayolah, terima saja lamaranku supaya kamu tidak perlu kerja keras seperti ini, karena semua kebutuhanmu aku yang akan menanggungnya,: lanjut Donni penuh percaya diri.
Raline enggan menimpali. Tanpa mengucapkan terima kasih--menyelonong pergi. Namun, baru beberapa langkah lengannya tertahan. Dan, mau tak mau ia beradu pandang dengan wajah pria sinting yang tak pernah menyerah mengganggunya.
"Ucapan terima kasihnya mana?"
Tak mau memperlambat waktu, Raline menuruti permintaan tersebut. "Terima kasih."
"Terima kasih sama siapa, heh?"
Raline memutar jengah bola matanya. Komat-kamit sumpah serapah terpaksa diredam agar segera terbebas dari makhluk sialan di depannya. "Terima kasih, Donni," ucapnya pelan.
"Astaga, suaramu merdu sekali menyebut namaku!"
Dengan kurang ajar ibu jari Donni menyentuh permukaan bibir Raline. Tentu saja Raline tak tinggal diam atas ulah tak beradab pemuda di depannya.
"Dasar tidak punya sopan santun! Nanti akan aku laporkan sekalian perbuatanmu pada Juragan Bono supaya dia lekas memecatmu. Biar tahu rasa kalau kamu sudah jadi pengangguran!" geramnya sembari mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Donni.
Donni yang tak suka tampak tersulut emosi. Ia menarik telunjuk Raline hingga tubuhnya oleng sehingga memudahkan pria itu mengunci pergerakan tubuhnya dan membungkam mulutnya dengan satu tangan besarnya.
Bungkusan plastik di tangan Raline terlepas demi berupaya melawan tenaga pria kalap di belakangnya. Saat tubuh Raline hendak diseret ke arah semak-semak, suara berat nan tegas menggema gendang telinga keduanya hingga bersamaan menoleh pada asal suara.
"Lepaskan dia!"
Bola mata Raline membulat diikuti dengan celah bibirnya terbuka saking takjub dengan objek yang muncul di hadapannya. Pria tampan yang semakin gagah dengan usia yang matang. Pria blasteran yang dulunya sering dipanggil dengan sebutan Tuan Bule karena memiliki paras rupawan ras kaukasia yang membuat seorang bocah SMP terbius pada pesonanya.
Lihatlah, manik abu yang begitu menawan kian membidik tajam. Raline masih sangat mengenali pria berdarah Eropa tersebut.
Bagi Raline, pertemuan ini sangatlah mengejutkan!
~
Cerita sudah TAMAT di KaryaKarsa. Yuk, langsung kepoin biar nggak senapsaran gimana kisah Tuan Bule dan curly girl yang bikin senyum-senyum sendiri.
Follow instagram untuk kepoin spoiler part, cast character, dan movie ala trailer.
Let's cekidot ‼
Aliceweetsz || Selasa, 21 Maret 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Status
Roman d'amourKetika menjadi tertuduh pelaku amoral, Marvel Sebastian dihadapkan dua pilihan berat. Mendengarkan bisikan hatinya agar berempati atau memilih mengabaikan dengan menumbalkan masa depan seorang gadis belia. *Cover by Pinterest 📝start : 17 Maret 2023...