Ketegangan Mencekam

424 104 6
                                    

Akses cepat baca di aplikasi KaryaKarsa. Cerita sudah tamat di sana ✅

Yang belum follow instagram hayuk buruan follow. Akan ada tebaran spoiler part dan info ter-update lainnya 📲

.
.
.

Jendela kamar terbuka lebar sehingga semilir angin pagi hari yang dingin menerpa dirinya. Hampir dua pekan berada di desa yang menyuguhkan ketenteraman dengan keindahan alam membuat Marvel enggan kembali ke kota.

Walau sementara sebagian tugasnya dialihkan pada orang kepercayaan, tetap saja peran andilnya lebih diutamakan lantaran beberapa kolega ingin tatap muka langsung dengannya untuk membicarakan project yang telah disepakati. Namun, mau tak mau esok ia harus kembali meninggalkan panorama istimewa ini.

Marvel tersenyum samar, mungkin panorama pegunungan ini akan dijadikan tempatnya menghabiskan waktu masa tua bersama pasangannya kelak ketika anak-anaknya sudah berkeluarga. Sesaat kepalanya menggeleng membayangkan hal konyol tersebut. Di usia yang sudah menapak kepala empat masih betah melajang.

Entah sampai kapan kesendirian merayapi hatinya. Rasanya ketertarikan dengan lawan jenis seolah lenyap ketika kekasih yang dicintai dan dipercayai sepenuh hati justru menusuknya dari belakang dengan perselingkuhan. Walau sudah lima tahun telah berlalu, kejadian pahit itu masih melekat jelas dalam ingatannya.

Marvel berdecak ketika kembali terlempar pada masa kelamnya, lantas beranjak mengambil handuk untuk menyegarkan tubuhnya dengan air hangat. Ia harus lekas membenahi diri untuk berangkat ke pabrik produksi untuk mempelajari lebih lanjut tentang pengolahan teh sampai proses pemasaran yang sudah sampai ke wilayah Asia Tenggara. Cukup banyak yang sudah dipahami agar ke depannya perkebunan yang telah berpindah tangan padanya akan terus maju dan berjaya.

Tak sampai tiga puluh menit, Marvel telah siap dengan setelan casual. Kaos kerah berpadupadan blue jeans. Keluar dari kamar dengan tangan memegang kunci mobil--melenggang keluar. Namun, saat hendak mengunci pintu rumah, ia merasakan kakinya menginjak sesuatu. Keningnya mengerut memperhatikan sebuah kertas yang dilipat rapi.

Saya harap Tuan mau berkunjung ke rumah saya sebelum kembali ke kota. Ada yang ingin saya bicarakan pada Tuan. Yang pasti, malam ini saya akan menunggu Tuan sampai datang. -Raline.

Dahinya berlipat dalam membaca pesan yang sudah pasti diterka untuknya. Gadis hitam manis berambut keriting adalah pengirimnya. Gadis imut yang dulu pernah ikut tinggal bersama sang ayah mengabdi di kediamannya.

Kepala Marvel menoleh ke kanan dan kiri mengelilingi sekitar demi mencari orang yang mengirim pesan, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan orang lain selain dirinya. Kertas yang telah dibaca kembali dilipat, lalu memasukkan dalam saku celana. Marvel bergegas ke arah mobil untuk berangkat ke perkebunan.

***

Raline mengekori sampai teras langkah sang bibi yang telah siap membawa jamu racikan yang akan dipersembahkan pada kerabatnya yang sedang sakit.

"Kamu hati-hati di rumah. Periksa semua kunci jangan sampai ada yang terlewat," titah sang bibi pada Raline yang mengangguk patuh.

"Bibi Tatina menginap sampai kapan?"

"Besok pagi juga sudah pulang. Kalau suaminya ada di rumah aku juga tidak akan menginap di sana."

Wajah Raline tampak murung, hingga menciptakan kecurigaan sang bibi. "Kenapa, toh? Tidak suka aku pulang cepat karena akan pusing mendengar ocehanku?"

Sontak saja tawa sumbang Raline menggema. "Sensitif sekali perasaan Bibi. Meski Bibi Tatina cerewet dan sering mengomel tidak jelas, aku sangat kesepian kalau berjauhan dengan Bibi."

"Halah, mulai drama gombal! Sudah, sudah, kalau begitu aku berangkat saja!" Bibi Tatina menyodorkan tangan kanan sebelum berpamitan.

"Hati-hati, Bi!" seru Raline menatap punggung ringkih sang bibi yang kian menjauh.

Helaan napas rendah dikeluarkan. Mendongakkan kepala menatap cakrawala malam yang bertaburan kerlap-kerlip bintang. Kekagumannya pada benda langit tak berlangsung lama karena gendang telinganya menangkap asal suara dari semak-semak.

Tanpa pikir panjang menghampiri suara langkah mencurigakan dari arah samping rumahnya. Raline beranggapan jika itu memang orang jahat ia akan berteriak mengingat malam belumlah larut.

Tiba-tiba saja pekikan kencang meluncur dari pita suaranya akibat sebuah siraman yang mengenainya. Aroma menyengat sukses melumuri sekujur tubuhnya. Entah air apa yang digunakan untuk menyiramnya karena berwarna hitam.

Tidak bisa melihat siapa yang melakukan karena suasana cukup gelap dan ia tidak melihat jelas  orang iseng yang berlari setelah mengerjainya.

"Dasar bocah iseng!" rutuknya kesal sembari melangkah memasuki rumah untuk membersihkan diri. "Menyebalkan! Malam-malam dingin begini harus mandi!"

Raline masih menggerutu menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang--menyatu dengan dapur untuk memastikan kunci. Dirasa sudah aman, ia memasuki kamar mandi untuk menyucikan diri dari air kotor yang membasahinya.

Tanpa diketahuinya jika ada siluet hitam yang berjalan ke arah pintu belakang. Terlihat sebuah bayangan bentuk parang tengah diacungkan ke arah celah pintu. Sangat hati-hati pergerakan mencurigakan itu terjadi tanpa penghuninya tahu. Anehnya, saat celah pintunya telah terbuka beberapa centi, sosok itu malah menjauh dari hunian sederhana yang tadi sempat ditargetkan.

***

Kendaraan roda dua tepat berhenti di pelataran rumah sederhana. Seorang laki-laki bertubuh proporsional melepas helm seraya mengamati situasi sekitar yang sangat sepi, tapi masih terlihat jelas pantulan lampu dari dalam rumah masih menyala--pertanda penghuninya masih terjaga.

Cukup ragu melangkah mendekati teras, lalu mencapai pintu utama dan lekas mengetuknya. Sudah beberapa kali diketuk, tapi tak ada tanda-tanda penghuninya datang menyambut. Kecemasan mulai merajai hingga pria itu berjalan mengelilingi rumah berbilik kayu.

Langkahnya berhenti tepat di pintu belakang. Bola matanya menyipit memperhatikan celah pintu yang kian terbuka perlahan-lahan sebab angin yang berembus kencang. Tentu saja sang pria berinisiatif untuk mengecek keadaan di dalam dirasa kekhawatirannya makin menjadi.

Bersamaan dengan gerak tangannya mendorong pintu, sebuah pekikan berhasil dibungkam. Mungkin jika tangannya tidak refleks mengunci mulut wanita yang mengenakan handuk minim sebatas paha, teriakan kencang akan menggema.

Wanita yang masih syok pada pemandangan di depannya tentu saja lekas menyumbat suaranya. Yang dirasa saat ini hanyalah kekaguman yang tak pernah disangka-sangka jika akan berhadapan sedekat ini.

Ia sampai menahan napas merasakan lingkar tangan kokoh yang menyangga pinggangnya, sementara tangan kekar satunya masih membekap mulutnya. Kepala pria itu merunduk sehingga menyita perhatian sang wanita pada wajah tampan adonis yang menatapnya lekat.

"Jangan teriak!" Melihat kepala wanita itu mengangguk membuat sang pria yakin melepas bungkamannya.

"Tu-tuan Bule," bisik Raline takut ketika mulutnya sudah terbebas.

Aroma sabun mandi dan shampo khas wanita membuat pria ras kaukasia di depannya malah terdiam seraya menelisik wajah ayu yang telah memanas oleh rasa malu karena berada dalam keadaan intens yang sensual. Ketika manik abu itu menelusuri sekujur tubuhnya dengan tatapan tajam sukses membuat degup jantungnya ingin meledak.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Marvel parau masih dengan posisi merangkul pinggang sintal Raline.

Namun, belum sempat mulutnya terbuka menyerukan suara, kegaduhan yang mendekat ke arahnya membuat kesadaran mereka datang. Kontan saja Marvel melepas pinggang Raline yang terkejut berbarengan dengan beberapa warga yang berdatangan menghakimi.

"Kalian telah berbuat asusila di desa kami! Kalian harus diadili!"

Seruan hina itu membuat aliran darah Raline seakan terhenti. Wajahnya memucat beriringan dengan ketegangan yang mencekam.

.
.
.

Aliceweetsz || Sabtu, 01 Juli 2023

Just StatusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang