Dalam kamar perawatan intensif tampak satu tangan wanita paruh baya yang terbebas dari lilitan perban berisi gips sedang mengelus rambut legam curly yang dibiarkan tergerai. Wanita berusia 26 tahun itu tengah menangis diliputi rasa bersalah mendalam karena membuat Mbok Parmi terbaring lemah karena patah tulang di bagian tangan kirinya.
"Sudah jangan bersedih. Keadaan Simbok baik-baik saja. Sakit seperti ini cuma sebentar. Nanti juga akan membaik."
"Kalau saja aku tidak pergi, mungkin—" Belum sampai ucapan Raline selesai, suara bariton lebih dulu menyerobot.
"Pasti Simbok masih sehat sedia kala!" ketus Marvel tegas.
Tangis Raline yang sudah mereda kembali terdengar. Melihat hal demikian tidak serta merta membuat Marvel iba. Baginya kejadian ini memanglah salah Raline. Seandainya wanita itu tetap berada di kediamannya, insiden di kamar mandi tidak akan terjadi lantaran tugas membersihkan ruangan itu adalah Raline sendiri.
"Tolong maafkan Raline, Tuan. Dia hanya ingin bertemu teman lamanya. Lagi pula kejadian yang terjadi sudah menjadi bagian dari takdir." Mbok Parmi membela gadis lugu yang sudah dianggapnya keluarga.
"Saya masih tidak terima Mbok jadi begini gara-gara dia terlalu centil bertemu laki-laki lain, padahal dia sudah terikat—" Marvel lekas mengerem kinerja lidahnya yang hampir saja keceplosan mengklaim seorang Raline Samara sebagai istrinya. Sejenak Marvel berdeham melonggarkan kerongkongan yang tiba-tiba tersendat. "bagaimanapun dia masih berada dalam naungan saya. Sudah seharusnya dia lebih dulu meminta izin pada saya. Bukan hanya satu pihak saja. Kalau sudah begini jadi banyak pihak yang dirugikan."
Pernyataan tersebut membuat Raline kian kerdil akan dirinya yang tidak berguna. Kecerobohannya berdampak pada sosok pengganti keluarga yang menyayanginya.
Sebuah instrumen dari layar ponsel milik Marvel memecah atmosfer ketegangan. Pria adonis itu lekas menyingkir ke luar ruangan. Namun, saat hendak menutup pintu ia memberikan mandat pada wanita yang masih bersimbah air mata.
"Kamu temani Simbok di sini. Jangan pergi sebelum saya menjemputmu lagi!" titahnya lugas sebelum menutup pintu, bahkan Raline belum menjawabnya.
"Cup cup. Anak manis jangan cengeng. Tuan Marvel cuma mengungkapkan ketidaksukaannya kalau istrinya menemui laki-laki lain," terang Mbok Parmi pada intinya.
Raline lekas merenggangkan jarak dan duduk tegak seraya mengusap wajahnya yang penuh bekas tangisan.
"Mbok titip titip Tuan Marvel ya selama masih masa penyembuhan. Layani beliau dengan baik—selayaknya seorang istri mengabdi pada suaminya." Mbok Parmi meremas jemari tangan Raline yang dingin. "Mbok rasa ini waktu yang tepat buat mempererat hubungan kalian."
Raline tak bisa berkata-kata. Ia masih terlalu syok pada lontaran kalimat pedas Marvel untuknya. Otak wanita itu tengah berpikir keras membayangkan hari-hari menegangkan tanpa kehadiran Simbok yang baik hati.
***
Sudah satu pekan ini Raline mengurus segala keperluan—terkecuali menyediakan pakaian tuan rumah. Gerak-geriknya yang gesit dan tertib cukup membuat pria blasteran Eropa itu melupakan kekesalannya pada kejadian yang telah berlalu. Walau sikapnya masih dingin, tetapi Raline merasa cukup lega jika tidak mendapatkan lagi tatapan sinis dari sepasang manik abu yang menurutnya sangat indah ketika menatapnya teduh.
Sudah lima belas menit hidangan sarapan tersaji di meja makan. Namun, tidak ada tanda-tanda empunya datang. Raline yang masih berdiri di sisi meja mendongak ke arah anak tangga yang mengarah pada kamar sang majikan. Ada keinginan ini menghampiri, tetapi nyalinya ciut ketika mengingat kembali kemurkaan di wajah tegas nan rupawan.
Akhirnya Raline memutuskan menunggu sepuluh menit lagi. Sayangnya ketika waktu telah terbuang percuma sampai makannya dingin, sosok don juan tetap tidak menampakkan diri. Gegas menaiki undakan tangga sampai tiba di sebuah pintu tinggi bercat putih. Tangannya tampak ragu-ragu terangkat dan tampak gemetar mengetuknya.
Tiga kali pintu diketuk tak juga mendapat sambutan, hingga Raline memberanikan diri membuka gagang pintu yang tidak terkunci, lalu membuka perlahan. Netranya memindai ruangan yang sangat luas untuk ukuran kamar tidur. Pandangannya terhenti pada tempat tidur yang hanya terlihat bagian kepala karena selimut tebal menutupi kaki sampai leher pemilik kamar.
"Maaf, Tuan, saya lancang ke sini. Sarapan sudah siap sejak tiga puluh menit yang lalu, Tuan," kata Raline seraya membungkukan badan.
Hening. Tak ada sahutan dari dalam. Sampai kemudian terdengar rintihan samar yang mengalun lirih membuat Raline menajamkan penglihatannya. Kelopak berbulu mata panjangnya menyipit menelisik pria yang berada di balik selimut. Sangat kentara tubuh tegap itu tengah gemetar.
"Ya, ampun! Tuan Bule kenapa?" Raline menyibak selimut dan menemukan tubuh gagah yang terbalut setelan piyama meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Ia memberanikan menyentuh kening Marvel yang bersuhu tinggi serta berkeringat. "Badan Tuan demam. Sebentar, saya panggilkan dokter untuk--"
"Tetaplah di sini," cicit Marvel mencekal pergelangan tangan kiri Raline hingga langkah wanita itu tertahan. "Dingin sekali," lanjutnya meracau, lantas menyentak kuat sampai tubuh sintal Raline terempas di atas bed—masuk dalam dekapan hangat tubuh liat yang menggigil.
"Tu-tuan Bule."
Kontan saja manik abu Marvel membidik tajam ke arahnya, hingga membuat Raline sadar sejak tadi salah memanggil nama sang tuan.
Raline menggigit bibirnya yang penuh karena rasa takut dan gugup yang menyatu. "Maaf, Tuan Marvel."
Perlahan jemari kokoh yang gemetar terangkat menyentuh permukaan garis bibir madu. Dalam kondisinya yang sedang kacau—separuh kesadarannya bersisa, Marvel menilai benda kenyal nan sensual Raline sangat menggairahkan. Ada sensasi aneh yang dirasakan ketika mengusap keranuman yang menarik dirinya agar tidak sekedar menyentuhnya, tetapi juga merasakannya.
"Raline," bisik Marvel parau. Terlihat jakunnya naik turun dengan pandangan masih berpusat pada bibir merekah di depannya.
Dentuman jantung yang menggila membuat rongga parunya menyempit. Rasa sesak yang menyebar terus membuat Raline cemas tak menentu. Sementara ia tak bisa mengelak ketika rahang pipinya dicengkeram agar saling bertautan pandangan.
Tak pernah terbayangkan ataupun memimpikan apa yang terjadi saat ini. Lumatan panas tengah menginvasi bibirnya yang pasif. Sempat menahan napas sejenak, tetapi akhirnya berhasil mengumpulkan tenaga mendorong dada bidang yang terus mengimpitnya dalam ciuman menggebu.
"Tu-tuan, jangan seperti ini. Kita tidak boleh—"
Raline memekik dalam kuluman seduktif yang terus memacu ritmenya. Pergerakan tubuhnya menyempit—tak ada celah untuk melepaskan diri. Hanya bisa pasrah menikmati sesuatu yang melenakan. Ciuman pertama pada pria idamannya mampu membuyarkan akal sehatnya sampai perlawannya ikut lemah.
Raline telah terpedaya hingga tak menyadari ketika paras rupawan berbulu cambang tengah melepaskan pagutannya dan menatap dirinya yang memejamkan mata.
"Jangan pernah menemui laki-laki manapun tanpa sepengetahuanku."
Sontak, Raline membuka mata. Namun, bibirnya tidak diberi kesempatan berbicara selain menerima cumbuan.
.
.Cerita sudah lengkap ada di KaryaKarsa ✅
Yang belum follow instagram hayuk buruan follow. Akan ada tebaran spoiler part dan video ala trailer yang unch 📲
Aliceweetsz || Sabtu, 16 September 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Status
عاطفيةKetika menjadi tertuduh pelaku amoral, Marvel Sebastian dihadapkan dua pilihan berat. Mendengarkan bisikan hatinya agar berempati atau memilih mengabaikan dengan menumbalkan masa depan seorang gadis belia. *Cover by Pinterest 📝start : 17 Maret 2023...