03. Johan Maharaj

1.2K 107 2
                                    

Johan Maharaj, siapa yang tak mengenal sosok nya?. Pria dengan kesuksesan dalam bidang properti. Belum lagi dengan rupa yang begitu di damba oleh kaum wanita maupun lelaki sub di luaran sana.

Johan, terkenal sebagai pribadi yang begitu tegas, berwibawa dan tidak terlalu suka banyak bicara. Ketika membahas sesuatu, maka lebih baik langsung pada intinya saja agar tidak merusak mood pria itu.

Semua orang tahu, Johan bukanlah seorang pria lajang yang panas. Melainkan seorang duda berbuntut satu. Ya, siapa lagi jika bukan Hagan. Putra satu-satunya.

Setelah kematian sang istri, Jihan. Johan membesarkan Hagan sendirian. Dan Johan, sudah hampir dua bulan menetap di Chicago sebab perusahaan disana mengalami masalah. Hingga akhirnya lelaki itu kembali menapak pada tanah yang menjadi saksi hidupnya.

"Mari tuan"

Johan masuk kedalam mobil, "Bagaimana keadaan Hagan?"

"Den Hagan baik-baik saja pak, sudah tidak pernah lagi mendapat surat panggilan dari sekolah. Dia pun sudah jarang keluar malam dan mengikuti balapan liar seperti biasanya"

"Perkembangan yang bagus" Johan kembali sibuk pada laptopnya sebelum teringat satu hal "Lalu keadaan anak itu bagaimana?"

"Nak Sena seperti biasa saja pak, selalu di kurung den Hagan. Tapi sepertinya den Hagan sudah sedikit meluluh pada Nak Sena hingga sudah jarang melakukannya"

"Hah, syukurlah"

Johan sebenarnya tidak pernah setuju dengan apa yang anaknya lakukan, bagaimanapun itu hanya masa lalu. Luka lama yang berusaha Johan redam.

Tapi dia lupa, bahwa Hagan mewarisi sifat keras kepala dari ibunya.

Selain pasrah, Johan hanya bisa memastikan Nawasena tidak akan meregang nyawa di tangan putranya.

"Ayah pulang!"

Hagan terburu menghampiri ayahnya, dia tersenyum lalu memeluk sosok pria yang sudah membesarkannya itu. "Hagan kangen ayah"

Iya, ini sosok Hagan bila bersama Johan.

Hangat dan manja.

"Ayah juga kangen Hagan" Johan membalas pelukan Hagan erat.

"Selamat datang tuan"

Johan mengangguk pada para pekerja, "Ya"

"Ayah mau bersih-bersih dulu. Habis itu kita makan Siang bareng, ajak dia sekalian"

"Kenapa harus di ajak?"

"Ayah mau ketemu"

"Dih, anak ayah itu Hagan bukan dia!"

"Iya iya, anak ayah cuma Hagan. Anak kesayangan ayah!"

Johan mengelus Surai madu anaknya, Hagan tersenyum.

"Yaudah, ayah mau bersih-bersih dulu"

"Heem"

Melihat Johan melipir ke kamarnya, Hagan naik kelantai atas. Dia ingin menemui Nawasena.

"Woy!"

Hagan menendang punggung Nawasena yang tengah meringkuk, sudah tidak ada lagi infus ataupun masker oksigen. Begitupun dengan ruamnya yang sudah mulai menghilang.

Lelaki tanpa sehelai benang pun yang membungkusnya itu tersentak, dia memandang Hagan sayu.

"Bokap gue udah dateng, lo bersih-bersih sana. Bokap ngajak kita buat makan bareng"

"A-aku gak bisa Hagan, aku lemes, kepala ku pusing"

"Banyak alesan anjing, cepet mandi sana. Sampe lo gak dateng dimeja makan, abis lo malem ini!"

"T-tapi”

"CEPET ANJG!!"

Nawasena dengan susah payah mengimbangi langkah Hagan yang menyeretnya kasar.

Bruk!

"Dalam lima belas menit lo gak turun, awas aja!"

Nawasena bangkit.

Badannya sakit, Hagan terlalu kasar. Hah, dia jadi ingin sakit seperti kemarin-kemarin saja. Agar Hagan bisa sedikit melunak.

"Gak apa-apa Sena, cuman sebentar lagi. Satu tahun kan?, Berarti cuman tinggal empat bulan lagi sebelum kamu beneran mati"

Nawasena memandang diri di cermin kamar mandi, banyak ruam keunguan dari tanda yang Hagan berikan, belum lagi lebam dan beberapa luka sayatan, di tambah beberapa ruam merah kecil bekas alergi. Dia, benar-benar nampak mengenaskan.

Hagan.

Luka dalam itu berada di tangan sebelah kanannya, Iya, Hagan yang membuatnya di awal. Dia menuliskan namanya sendiri, lukanya sudah kering dan sembuh. Namun tetap meninggalkan bekas yang pastinya tidak dapat hilang.

"Gapapa, kenang-kenangan"

Ucap Nawasena sambil mengelus lukanya.




fin

Love for you || HyucknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang