08. Dilema

980 107 8
                                    

Hagan entah mengapa akhir-akhir ini lebih melunak, maksudnya tidak terlalu sering melakukan tindak kekerasan.

Bahkan jika melakukan itu dia menjadi lebih lembut. Tidak lagi meninggalkan Nawasena ketika selesai berkegiatan.

Membantu Nawasena membersihkan diri juga.

Hal itu malah membuat Nawasena merasa aneh dan terancam. “Hagan?”

Seperti malam ini, keduanya baru saja selesai berolahraga.

Hagan masih memeluknya, “Hm?” Bisikan itu tepat di area leher Nawasena membuat lelaki manis itu bergidik geli.

Shh diem Na”

Nawasena membola, sadar keduanya masih bertelanjang dibalik selimut dan milik Hagan masih berada didalam nya.

Keluarin Hagan. Gak nyaman” Nawasena memejamkan mata ketika Hagan menuruti ucapannya.

“Padahal dia suka didalam Na, anget” Tepukan sedikit keras Hagan terima di lengannya yang tengah memeluk Nawasena.

“Busett pedess”

“Ya lagian iih omongannyaa”

Hagan tertawa, mengecupi tengkuk Nawasena. “U-udah, mau mandi”

Tahu Nawasena tengah malu, Hagan malah semakin sengaja menggoda lelaki itu. “Mandi bareng ya?”

“Hagann~” Mendengar rengekan kesal itu Hagan malah tertawa, dia mengusakan rambut tebalnya di tengkuk Nawasena dengan gemas.

“Gemes banget sii lo ah”

Dan ya berakhir lah kegiatan malam itu dengan mandi bersama.

“Jam segini udah pada tidur pasti” Hagan mengeluh lapar, berakhir lah keduanya di dapur. Nawasena berniat memasakan makanan untuk si lelaki Gemini.

“Ya kan aku yang mau masakinn” Ujar Nawasena gemas.

“Mau udang, tapi kalau lo sentuh udang bakal gatel gatel gak?” Tanya Hagan, Nawasena menggeleng.

“Pake sarung tangan aja, jaga-jaga” Ucap Hagan lagi, dia mengambilkan sarung tangan yang biasa pekerjanya pakai.

Memasangkannya dikedua lengan Nawasena. Jemari lentik itu membuat Hagan terpaku. Jari Nawasena itu, indah sekali.

Ah tidak-- semua, semua yang ada pada Nawasena adalah keindahan mutlak.

Hagan menggeleng “Lama-lama gue bisa gila karena lo Na”

“Udang nya mau digimanain Hagan?”

Hagan tersadar “Saus tiram aja, tapi mau pakai acar timun”

Nawasena menuju rak es khusus berisi peracaran. “Untung masih ada stoples lagi acar timunnya”

“Ya kan gak mungkin pakai stoples juga Naaa” Ucap Hagan gemas-- sebal sedikit.

“Yaudah tolong bukain toplesnya” Nawasena menyodorkan toples berisi acar itu pada Hagan.

Hagan meraih toples acar timun yang Nawasena beri, timunnya masih satuan. Jadi harus dipotong potong terlebih dahulu. “Sekalian gue potongin ya?”

“Hm, kecil-kecil ajaa”

Dan malam itu malah jadi kegiatan masak bersama, cooking after sex :).

Hagan memberikan acar timun yang sudah dipotong-potong. “Jangan dimasukin iih”

Hampir saja, Hagan cengengesan. Menyimpan acar timun itu di samping kompor. Melihat Nawasena yang begitu cekatan, Hagan tanpa sadar memperhatikan dalam.

Dilihat dari sisi manapun, Nawasena itu sempurna. Lelaki itu juga kelewat baik, padahal yang menyiksa ada di depan mata. Bisa saja Nawasena membunuh Hagan dengan peralatan tajam di dapur.

Namun sebaliknya, lelaki itu malah memasakan Hagan ketika lapar. Lebih dari itu, mengobati ketika dia terluka dan memberikan Hagan dukungan ketika dia terpuruk.

Hagan terpaku-- kenapa dia baru sadar?

“Lo cantik”

Nawasena menoleh, Hagan menyelipkan anak rambut Nawasena yang mulai sedikit memanjang.

“Andai aja lo bukan anak dari pembunuh itu--” Hagan berpaling, menarik lengannya menjauh. Tidak melanjutkan kalimatnya.

“Gue tunggu dimeja makan”

Hagan memilih menghindar.

Nawasena menunduk, “Yaa-- seandainya kita bertemu dengan keadaan baik-baik saja” Nawasena terkekeh miris.

“Aku akui, aku bodoh karena malah mencintai kamu Hagan”

Batin Nawasena berkecamuk.

Keduanya malah berakhir canggung. Setelah makan Hagan bahkan tak kembali ke kamar.

Dia berada di halaman belakang, duduk di ayunan yang Ayah buatkan untuknya dulu. Masih berdiri kokoh.

“Bunda, yang Hagan lakuin selama ini-- apa itu sudah benar?” Lelaki itu menatap taburan bintang di langit, Cahaya bulan menyorot tepat di wajahnya.

Hagan memejamkan mata, satu air mata lolos begitu saja.

“Apa kesakitan bunda sudah terbalas?”

Hagan bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan selama ini.

Apa itu salah?

Apa hal ini bisa mengangkat sebagian kesedihannya?

Hagan-- dia mulai ragu dengan langkah yang diambilnya.

“Anak bunda yang tampan dan baik hati, Jagoan bunda dan ayah. Nanti, kuat-kuat ya nak? Hidup itu tidak selamanya berpihak pada kita dan kehilangan itu selalu ada. Namun bunda yakin, Hagan anak bunda inii pasti dapat mengambil keputusan dengan bijak kelak”

Keputusan ini-- tidak bijak. Tidak seperti yang diharapkan Bunda padanya.











tbc

sukaa deh sama komen kalian, walauu engga banyakk tapi ituu bikinn aku superr duperr semangattt buat nulisss

terimakasiii ya sudah suka sama ceritaa akuu 🤍🤍🤍

Love for you || HyucknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang