07. Flashback

958 95 6
                                    

Usia Hagan baru sepuluh tahun kala itu, menatap peti yang dibawa masuk kedalam rumah dengan bingung. “Ayah?”

Hagan menatap sang Ayah yang menangis, dia merengkuh Hagan. “Bunda sudah pulang nak”

“Lalu dimana bunda ayah? Hagan ingin bertemu, ingin hug bunda. Hagan rindu sekali”

Johan menuntun sang anak kearah peti mati, mengangkat Hagan pada gendongannya.

Peti mati belum ditutup, disana. Jihan, tertidur lelap dengan beberapa luka di area wajah. Namun Bundanya masih begitu cantik, terbalut gaun berwarna putih yang indah.

“Bunda bobo?”

Hagan tidak bodoh, dia tau. Namun mencoba mengelak, satu tahun penungguan Hagan, di balas kesedihan tak berujung.

Hari itu, langit begitu cerah. Peti mati Bunda perlahan diurug tanah. Hagan menatap dengan sendu, dia tidak menangis.

Namun siapapun pasti sadar, anak itu berada dalam perasaan sedih yang mendalam.

It's okay Ayah, Hagan is here” Hagan memeluk Johan, Johan hanya mampu manangis dalam pelukan anaknya.

Semua akan tetap baik baik saja, mereka ada untuk satu sama lain.







Seminggu setelahnya, kasus itu terungkap. Pelaku pembunuhan dan penyekapan ibunya ditemukan.

Namanya Satya Adijaya.

Mantan kekasih Jihan semasa kuliah dulu.

Motif pembunuhan ini sendiri karena obsesi pria itu kepada Jihan.

Mereka dulu putus sebab Jihan yang sudah tidak tahan dengan kelakuan pria itu, kasar, toxic dan sangat mengekang.

Tidak tau bahwa hal itu membawa hal buruk untuknya, Jihan diculik. Disekap dan disiksa selama satu tahun disebuah tempat terpencil.

“Tapi dia bisa menikah” Ucap Johan, kala tau bahwa lelaki itu sudah menikah bahkan memiliki putra seusia putranya.

“Kecelakaan, setelah melahirkan istrinya juga dibunuh” Ucap Joan, sahabat akrab Johan sedari SMA.

Satya dan kegilaannya.

Maka dengan itu hakim memutuskan hukuman mati kepada Satya.

Tanpa keduanya ketahui, Hagan menguping. Anak sepuluh tahun itu sudah menyimpan dendam dihatinya.








Di pengadilan, “Tolong maafkan Papa Nana” anak lelaki berparas manis itu menangis, mencoba memeluk sang Papa.

Satya memandang sang anak sendu, bagaimanapun, sebrengsek dan sebejat apapun Satya dia begitu menyayangi putra kecilnya.

“Saya mohon waktu sebentar untuk berbicara pada anak saya” Polisi membiarkan Satya bersimpuh di hadapan anaknya yang menangis sesenggukan.

“Nana....”

“Papa jangan tinggalkan Nana, nanti Nana dengan siapa kalau Papa pergi?” Satya sedikit meregangkan lengannya yang terborgol.

Memasukan Nawasena kedalam kungkungannya. “Maafkan Papa ya sayang? Maaf karena menjadi Papa yang buruk untuk Nana. Papa akan menebus kesalahan Papa, Papa akan menebus segala dosa Papa disini. Hidup yang baik ya nak, nanti jangan nakal dengan Opa sama Oma. Jangan cengeng lagi, soalnya Papa sudah tidak bisa peluk”

Nawasena menangis saja, saat polisi membawa Satya. “TOLONG MAAFKAN PAPAA NANA, NANA MOHON!!!”

Satya tak lagi memandang kebelakang, dia menunduk. Menangis kala masih mendengar isakan anaknya.

Maafkan Papa Nana, maaf karena kamu harus menjadi anak dari orang gagal seperti Papa.







Tiga hari, raga yang kini sudah berupa jasad di pulangkan kerumah duka. Nawasena senantiasa berada disisi peti mati sang Papa.

Menggumamkan nyanyian yang sering Papa nyanyikan untuknya sebelum tidur.

Papa my sunshine...”

“My only sunshine”

Mereka yang ada disana menatap sedih kearah anak kecil itu, Oma dan Opa dari pihak Papa nya membiarkan Nawasena untuk berdiam disamping sang Papa.

“Papa nya kita antar kerumah baru ya nak?” Oma bergerak, merangkul Nawasena. Anak itu menatap sang Oma dengan mata sembabnya.

“Iya Oma, Papa harus cepat istirahat yaa?” Oma mengangguk, memeluk sang cucu dengan erat.

Papa,

Nana kira setelah kepergian Papa dunia akan runtuh

Nyatanya, bumi masih berputar

Yang hancur,

Hanya dunia Nana saja.










Tujuh tahun berlalu,

Nawasena mulai terbiasa hidup mandiri, setelah kepergian Papa. Dengan tidak terduga dua tahun setelahnya Opa menyusul karena bocor jantung dan beberapa komplikasi lainnya.

Nawasena mulai merasakan pijakannya kembali tergoncang, untungnya masih ada Oma saat itu. Nawasena tidak terlalu khawatir.

Namun seolah segala dosa itu dilimpahkan padanya, Oma kembali direnggut. Lagi dan lagi Nawasena kehilangan.

Oma mulai sakit-sakitan jelas karena sudah renta. Mulai kesulitan berjalan hingga berakhir terpleset dan jatuh, kepalanya terbentur keras dan terjadi pendarahan. Karena Oma yang sudah tua, nyawanya tidak bisa terselamatkan.

Waktu itu usianya baru menginjak tujuh belas tahun, dihari ulang tahunnya. Dia kembali dipeluk luka.

Setelah pemakaman, di malam hari itu Nawasena berjalan sekitaran taman kota. Mencoba menenangkan diri dari segala hal yang membuatnya kesulitan hanya untuk sekedar menarik nafas.

“Papa, Nana sekarang harus gimana ya?”

Pandangannya kosong, nampak tidak ada gairah kehidupan disana. 

Nawasena tau, ada kendaraan yang melintas. Namun dia tidak menghiraukan itu.

Nana ingin dengan Papa saja.

BRUK

Tidak, Nawasena tidak merasakan tubuhnya sakit. Hanya nyeri di area pergelangan tangan karena sebuah tarikan kasar.

“Gak papa kan?”

Nawasena menangis, lelaki yang menyelamatkannya memeluk dan membisikan kata penenang.

Lima belas menit lamanya dengan posisi yang sama, “Ayo biar gue anterin balik”

Tidak tau saja, bahwa malam itu. Dia dibebaskan dari kematian hanya untuk menjemput kematian lain yang lebih menyakitkan.

Satu tahun.

Dia mengawasi Nawasena selama itu.

Dan malam ini adalah waktu yang tepat.

Hagan Maharaj dan dendamnya.

“Lo bakal rasain apa yang Bunda rasain”













tbc

sena kangen terus sama Papa nya.

buat nyusul jangan?

Love for you || HyucknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang