- Pesantren -
Gilang menyempatkan diri ikut bersama mba Ica untuk mengunjungi pesantren yang tadi di sebut di ruang tamu rumah nenek. Sebenarnya Gilang ingin sekali mengistirahatkan punggungnya karena sudah melakukan perjalanan yang cukup jauh tapi Gilang merasa tidak enak jika harus menolak tawaran bibinya, ahirnya Gilang mengalah, dia menyimpangkan keinginannya untuk istirahat dan memilih ikut dengan mba Ica.
Sedari tadi berjalan di desa yang mata kepala telanjang Gilang lihat adalah sawah, ladang, empang dan beberapa gubuk yang tersedia di beberapa tempat.
"Kamu udah gede aja ya, ganteng lagi MasyaAllah." Ujar mba Ica. Mereka sekarang sedang berjalan ke arah pesantren.
Gilang menanggapi pujian mba Ica hanya dengan senyuman. Ingin menjawab pun tak tau harus menjawab seperti apa, Gilang masih bingung dan cukup canggung berada di lingkungan baru.
"Kamu biasanya di kota ngapain aja? Sibuk ga setiap harinya? Terus Ayah kamu galak ga sih?" Tanya mba Ica tak sabaran.
Gilang tersenyum lagi, "Kalau di sekolah aku sibuk sama ekskul voli, Bi. Sama..." Gilang diam sejenak untuk berpikir, "Setiap hari juga sibuk p.... pa... caran sih, hehe." Gilang bukan malu menjawab patah-patah kaya gitu tapi dia takut salah karena sudah berani pacaran, apalagi mba Ica cukup terlihat Islami, Gilang kan jadi gugup.
Respon mba Ica bukan seperti yang Gilang pikirkan, wanita cerewet itu justru malah menanggapinya dengan tertawa ringan, "Wajar kalau anak muda kaya kamu pacaran. Terus sekarang kemana pacarnya?" Wajar kan kalau mba Ica menanyakan itu kepada Gilang?
Gilang diam sejenak. Entah mengapa hatinya jadi merasakan rindu lagi kepada Arum, "Ada kok, Bi."
Mba Ica hanya manggut-manggut pelan sambil bergumam. Kemudian hanya beberapa langkah lagi mereka sampai di pesantren, tempat para anak-anak sampai remaja muslim menuntut ilmu agama. Pesantren itu cukup meneduhkan kornea hitam legam khas milik Gilang, bercat hijau campur putih di tambah ada dua pohon besar di halaman utama dan bisa Gilang lihat dengan jelas bahwa ada beberapa orang memakai pakaian muslim sedang menyapu dedaunan yang sudah kering.
"Ayo, masuk." Ajak mba Ica.
Gilang tak tunggu lama, ia langsung masuk mengikuti langkah mba Ica yang- entah kemana tapi sepertinya langkah kaki mba Ica menuju kantor dari pesantren ini.
"Assalammu'alaikum." Salam mba Ica sambil mengetuk pintu kayu bercat hijau itu. Hanya sekali memanggil pintu langsung terbuka, menampilkan sosok pria tua dengan pakaian muslim dan satu kain yang dilingkarkan di lehernya.
"Wa'alaikumussalam warohmatulohi wabarakatuh." Jawab pria tua itu ramah.
Mba Ica tersenyum, kemudian menunduk sekali untuk menghormati manusia yang lebih tua dari dirinya, Gilang pun mengikuti apa yang mba Ica lakukan.
"Bawa murid lagi ke sini?" Tanya pria tua itu ketika melihat entitas Gilang berdiri tegak di samping mba Ica.
Mba Ica menoleh, "Oh ini, bukan Tad. Dia keponakan saya, baru dateng dari kota."
Pria tua itu manggut-manggut pelan sambil mulutnya membentuk huruf o, dan Gilang tersenyum tipis.
"Berarti kamu ke sini untuk cari Husain?" Tanya pria tua itu lagi dan kali ini di angguki kepala oleh mba Ica, "Husain lagi di kelas, coba saja cek, siapa tau sudah selesai."
"Oh gitu ya, ya udah saya ke kelas dulu kalau gitu ya Tad."
"Ya, silakan."
Setelah mendapat izin dari pria tua itu, mba Ica dan Gilang langsung melangkahkan kakinya ke kelas Husain. Dari kantor hanya melewati beberapa ruangan dan belok ke kanan kemudian sampai di ruangan yang sedang banyak remaja-remaja seumuran Gilang belajar. Ruangan itu bagian jendelanya dibiarkan terbuka begitu saja, mungkin agar angin dari luar bisa masuk jadi mereka tidak memerlukan kipas untuk mengusir rasa gerah ketika belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen FictionBagaimana jika kita memiliki hubungan beda agama? Masalahnya bukan lagi tentang perasaan, tetapi menyangkut hubungan dengan Tuhan. Bagaimana perjuangan Gilang Argantaro yang sejak lahir sudah bukan seorang muslim akan menjadi muslim karena cintanya...