- Puasa -
Ptakk
Ptakk
Dorr
Dorr
"Bangsat! Berisik banget sih." Decak Gilang saat dirinya tidak bisa fokus lagi mengerjakan tugas akibat suara dari luar yang terus menerus mengganggunya. Akhirnya Gilang memutuskan keluar kamar untuk sekedar mengecek suara apa sebenarnya yang sudah mengganggu indra pendengarannya.
Kriitt
"Eh, si ganteng," Itu suara mba Ica yang menyapa dirinya. Gilang hanya memberikan satu senyuman kepada mba Ica, "Mau ikut, Bibi?"
"Kemana, Bi?" Tanya Gilang kemudian menghampiri mba Ica yang sedang duduk di ruang tengah.
"Ini anterin snack untuk Husain soalnya stok di kamarnya udah habis." Jawab mba Ica sambil sibuk memasukkan beberapa snack ke dalam totebag.
Gilang tersenyum tipis. Entah mengapa tiba-tiba pikirannya di bawa mengingat sosok sang bunda. Jika di pikir-pikir bunda dan mba Ica ini adalah saudara kandung tapi mengapa kepribadian mereka sangat jauh berbeda? Bak langit dan bumi. Saat ini apakah boleh Gilang iri kepada Husain karena memiliki sosok ibu seperti mba Ica? Ck, sial. Untuk apa lagi ia mengingat kembali sang bunda?
Gilang mengerjapkan mata kala mba Ica sedang memperhatikannya, "Ehm, kenapa Bi?"
Mba Ica tersenyum, "Kamu dari tadi ngelamun, lagi mikirin apa? Ada yang mau di ceritain sama Bibi? Sok ayo silakan kamu boleh cerita apa aja ke Bibi, mau cerita yang sedih, seneng, kesel, galau, bahagia, semuanya boleh." Awal bertemu dengan mba Ica memang cerewet kan?
"Ga papa Bi," Jawab Gilang, "Ga perlu di bahas, ga penting."
Kedua alis mba Ica mengangkat, "Loh ga papa cerita aja sama, Bibi. Ayo anak mudaaa."
Gilang terkekeh namun sedetik kemudian remaja itu membuat wajahnya menjadi sendu, "Aku iri sama Husain," Sengaja menggantung kalimatnya untuk sekedar melihat respon mba Ica, "Gimana sih rasanya punya Ibu yang perhatian sama anaknya? Aku belum pernah ngerasain deh, Bi." Kini wajah Gilang memang tersenyum tapi percayalah di dalam lubuk hatinya yang paling dalam Gilang merasakan sakit.
Perlahan tangan mba Ica mengulur untuk mengusap puncak kepala Gilang. Mba Ica betulan mengerti apa yang Gilang rasakan saat ini. Remaja itu merindukan sosok seorang Ibu.
"Satu hal yang perlu kamu tanam di diri kamu, Lang," Respon mba Ica mengundang rasa penasaran dari dalam diri Gilang, "Jangan pernah benci sama, Bunda."
Gilang diam tak merespon, sampai suara mba Ica kembali memenuhi indra pendengarannya, "Masih sayang sama, Bunda?"
"Untuk apa aku sayang sama orang yang udah ngecewain suami dan anaknya?" Gilang adalah Gilang, sosok remaja yang selalu sarkas ketika bicara hal sensitif dengan seseorang, apalagi jika menyangkut sang bunda.
"Bukannya kamu ga akan pernah ada kalo bukan Bunda kamu yang lahirin kamu?"
Anak itu berdecak, "Aku ga pernah minta untuk di lahirin sama, Bunda." Jawabnya enteng.
Kini respon mba Ica tidak lagi menyangkal. Mba Ica sangat mengerti kenapa Gilang bisa bersikap sarkas seperti ini. Wanita itu tersenyum sambil menganggukkan sekali kepalanya, "Jadi kamu mau ikut, Bibi atau ngga?" Tanyanya mencoba kembali mencairkan suasana.
Sebelum menjawab Gilang menghembuskan napas terlebih dahulu guna menenangkan sedikit dirinya dari pembahasan tentang bunda, "Sebenernya tadi aku keluar gara-gara suara berisik itu, tapi boleh deh ikut."
KAMU SEDANG MEMBACA
STRUGGLE
Teen FictionBagaimana jika kita memiliki hubungan beda agama? Masalahnya bukan lagi tentang perasaan, tetapi menyangkut hubungan dengan Tuhan. Bagaimana perjuangan Gilang Argantaro yang sejak lahir sudah bukan seorang muslim akan menjadi muslim karena cintanya...