Aksi!

670 168 6
                                    

Hari minggu, hari libur. Bukan cuma itu yang membuat kost redaksi terlihat cerah. Auranya seperti di isi penghuni surga. Orang di dalamnya terkesan murah senyum. Tentu saja karna awal bulan, kalau sudah awal bulan pasti identik dengan gajian.

Miss Melody selaku pemilik kost sudah wara-wiri mengunjungi setiap pintu. Di bantu anaknya muthe, si cerewet.

"Nggak ada acara nunggak lagi ya Olla, bulan kemarin saya udah kasih kamu waktu. Masa sekarang mau nunggak lagi. Kamu kerja uangnya buat beli apa memangnya?"

Olla menjadi orang yang kesekian kalinya mendapat serangan pajar. Pagi-pagi pukul tujuh, rasanya memang bukan waktu yang cocok untuk menagih uang.

"Suudzon aja Miss sama saya," Olla menggerutu, ia menyerahkan jumlah uang dengan nominal yang cukup besar. Miss Melody sudah menampilkan senyum terbaiknya

"Nah, kalau kaya gini terus mah, saya suka. Tolong ya kamu ingetin Lulu buat bayar juga. Saya ketok pintunya orangnya nggak keluar-keluar"

"Masih tidur kali Miss, ini kan masih pagi"

"Masih pagi gimana kamu teh, matahari aja udah mau naik. Udah ya, saya lagi riweh mau pergi arisan. Tolong nitip Mute sekalian yaa"

Olla mendengus malas. Ia kembali menutup pintunya. Hari libur cocok di habiskan untuk hibernasi.


"So sorry to say nih. Kata abang gue, nasib kita ini kadang di tentuin temen!" Sentak Eli tak terduga. Si kurus ini berani-beraninya berkata demikian.
Mereka sedang menyantap bubur ayam. Makanan berkonsep murah-meriah serta tidak ribet ini adalah penolong mereka di saat kelaparan.

Dey yang lebih dulu bereaksi "Maksudnya, lu jadi nggak gaya gara-gara maen sama kita? Ya udah  pergi sana lu! Jangan-jangan yang bikin gue nggak gaya, karena lu nempel ama gue terus!" tampang galak Dey jauh dari nuansa bercanda

Eli tak terganggu. Ia emang biasa di bentak-bentak. Tapi hanya saat itu, selebihnya mereka tidak pernah terlibat pertengkaran yang serius

"Lu budeg ya? Kan gue bilang juga kata abang gue. Bukan berarti pendapat dia, jadi pendapat gue juga!" Eli sinis. Aksi pagi-pagi yang sudah tak layak di sebut pagi. Hari ini nampak kurang bersahabat.

"Lu jangan pedes gitu dong, Ceu! Lagian teori abang lu apaan banget deh!" Ara yang kebanyakan diam ikut tersulit emosi juga.

"Tapi guys..." Lulu memecah ketegangan sesaat. Semuanya jadi diam mendadak.
"Akhirnya setelah banyak mikir, gue punya satu harapan. Kebaikan teman. Maksud gue, siapapun di antara kita yang berhasil menggaet orang kaya, yah...  Ingat-ingatlah untuk berbagi rezeki sama temen..." Katanya dengan suara rendah.

Tiba-tiba atmosfir tak mengenakkan itu mengendur. Semua mata saling melempar pandang satu sama lain.
Ara tertawa. Eli tertawa. Dey tertawa. Semuanya tertawa. Entah, apakah bunyi suara ini terdengar getir. Mereka seperti sekelompok orang yang bermain komedi.

"Gue serius... Kalau lu semua udah sukses, kasih gue cipratan rezeki. Di ajak usaha bareng kek. Gue ngerasa di sini bakalan jadi badut doang..."  Lulu tak ikut tertawa. Parasnya bingung. Ia mungkin tak menyangka dampak kalimatnya adalah tawa orang gila.

"Se-hopeless  apa sih, hidup lu. Coba lu lihat muka kak Eli! Ada yang lebih bikin sedih dari tampang dia nggak? Aduh... " Dey memegangi perutnya sambil ketawa.

Mereka masih tertawa. Tertawa. Terbahak. Untuk kemudian, suara tawa mereka berubah menjadi batuk, menipis, menipis, menipis. Tinggal napas. Dan pemandangan sedih di mana-mana

Pukul sembilan malam, ketika Ara tengah serius berbicara dengan Shani dan Gracia. Chika menelponnya. Ara memisahkan diri tak jauh dari dua orang itu

"Ara?"

KOST REDAKSI!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang