Hidup di Jakarta

881 203 13
                                    

Jam tujuh malam. Waktu yang tepat memuntahkan segala perkara. Waktu yang tepat juga untuk meledakan emosi. Sebab berada di lantai satu bukan tempat yang aman untuk meluncurkan sebuah khayalan. Di dalamnya banyak sekali manusia-manusia berisik yang heboh entah sedang memperebutkan apa. Karna di waktu-waktu sekaranglah mereka bisa berkumpul

Muthe dengan suara cemprengnya mampu merusak indera pendengaran jika aktivitasnya di ganggu, Christy dengan sifat keponya yang nggak berhenti mempertanyakan hal nggak penting. Zee dan Marsha yang tumben sekali malam ini terlihat anteng dengan kamera baru miliknya. Serta di pojok dekat meja makan, Ashel dan Adel terlihat sibuk menyusun lego. Semuanya terihat sibuk, tapi entah kenapa Ara merasa di kepalanya terlalu bising. Terlalu banyak yang berbicara. Soal hidupnya.

"Lu kenapa sih? Dari tadi kaya ikan kurang air mangap-mangap gak kelas. Jangan-jangan bentar lagi mati lu" Eli tiba-tiba datang dengan mienya. Ia duduk lesehan di bawah dengan gaya yang nggak ada anggun-anggunnya

"Mikirin duit!" Kata Ara jujur

"Yaelah duit lagi, duit lagi. Udah jalanin aja. Toh, bulan-bulan kemarin kita juga bisa hidup dari tanggal satu sampai tanggal tiga puluh. Kenapa mesti takut"

"Iya emang bisa hidup. Tapi harus minum obat lambung dulu. Mau beli baju, harus nyetop hasrat beli sepatu. Mau makan enak, harus mikir-mikir dulu.  Kenapa sih hidup kita nggak plong! Kenapa gak kaya kak Anin. Dia jangankan makan enak, sepatu yang di pakenya di injek aja harganya ngelebihin gaji kita sebulan!"
Ara mengigit kerupuk udang dengan energi yang setara dengan mengangkat galon.

Olla tertawa "Itulah hidup Ra." Katanya setelah mendaratkan pantatnya di samping Ara. Akhir bulan memang rutinitas yang nggak akan pernah terlewat untuk mengeluh
"Kalau lu nggak merasa ada perjuangan, hidup lu jadi hambar. Apa-apa gampang. Nggak ada warnanya"

"Bener, Ra." Eli mulai ikut mengibarkan bendera aksi adu nasib
"Lu pikir lu doang yang pusing ngatur duit. Lu pada masih mending tiap bulan nggak di teleponin adek-adek lu minta uang buat keperluan sekolah. Lu cuman mikirin diri lu sendiri, ngirim sama orang tua juga pasti seikhlas lu kan? Nah, gue? Tiap bulan mesti ngirim duit buat nyukupin kebutuhan keluarga. Mereka nggak tahu gue berdarah-darah di sini"
Eli meneguk minuman marimas rasa jeruknya dengan napas mendengus

Ara terpekur. Benar juga. Tapi kan, semua orang beda-beda masalahnya. Jadi siapa yang salah? Kantor yang terlalu pelit memberi gaji? Atau gaya hidup yang seperti dedemit menggoda iman?

"Sebenernya, kita bisa kaya nggak sih?" Ara mulai menggelosorkan punggung di sandaran kursi. Olla memiringkan badannya dengan siku bertumpu di meja, dan telapak tangan menahan sisi kepala sebelah kiri. Mereka mirip dua sahabat tawanan dalam penjara wanita. Ruwet dengan paras prihatin

"Kaya kak Gita gitu?" Olla mencetuskan figur perempuan paling tajir sekost redaksi.

Ara mengangguk "yah, kira-kira begitu. Kemarin gue liat mobilnya BMW seri terbaru. Baju merek dunia. Muka glowing. kalau keluar dari kamar badannya ngeluarin bau duit!"

"Berani-beraninya lu pada bandingingin hidup sama anak sultan" Sahut Sisca. Tumben sekali wanita ini ada di rumah

"Dia kan emang tajir dari lahir, di tambah punya kerjaan, jabatannya tinggi. Ya gimana nggak numpuk tuh duit" Sisca berusaha mencari fakta yang bisa menetralisir perasaan sirik yang mulai timbul mengedap di sanubari teman-temannya.

Dey, Mira dan lulu baru saja gabung. Dari tampang-tampangmya sih, keluhannya masih sama. Kecuali Dey. Dalam kondisi apapun, wanita itu selalu pintar memusnahkan dahaga.

"Tapi ngomong-ngomong kenapa sih, kita nggak pake kelebihan kita masing-masing buat meringankan beban hidup?" Tanya Dey tiba-tiba. Ketika mengatakan ini, semua mata saling melempar pandang satu sama lain.

KOST REDAKSI!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang