Bab 4

154 27 11
                                    

Di awal cerita ini, ada rumus yang namanya ‘kemungkinan’ jadi ada kemungkinan hidup itu sesuai dengan yang kita inginkan atau sebaliknya. Begitu juga dengan yang di alami Kara. Saat melihat hasil pengumuman di ponselnya. Rupanya dia belum lolos ikut audisi. Desahan nafas berat terdengar dari gadis berparas manis itu. Kata orang, dia terlihat lebih muda dari usianya. Babyface sih anaknya. Tapi yaitu, Kara gak pernah PeDe sama dirinya sendiri.

Kenapa susah sekali sih cari kerjaan dengan gaji tinggi? desah Kara dalam hatinya.

Kara melihat beberapa anak di panti asuhan sedang makan nasi dan hanya pakai lauk kerupuk. Dia semakin sedih rasanya. Di Panti Asuhan Harapan ini, beberapa anak yang menginjak usia dewasa udah pindah. Mencari kehidupannya sendiri-sendiri. Sekarang hanya menyisakan 10 anak saja dengan kisaran usia 5-12 tahun. Sedangkan Kara yang paling tua diantara anak lainnya. Dia masih bertahan di sini, karena masih berharap orang tuanya akan datang menjemput.

Terdengar helaan berat beberapa kali dari gadis yang memiliki mata sipit ini. Dahulu Panti Asuhan Harapan cukup besar karena di urus suaminya Buk War. Tetapi pasca suaminya Buk War meninggal dan ada krisis ekonomi. Panti asuhan jadi berkurang donaturnya. Hingga mereka terpaksa menjual gedung yang ditempati. Menyisakan satu rumah yang tidak begitu luas. Belum                    ditambah dengan hutang pada rentenir alias pinjol. Makin membuat tercekik.

Kara tidak mungkin meninggalkan panti asuhan ini. Secara dari sini dia bisa hidup. Meski menghidupi anak panti bukan tanggungjawabnya. Tetapi setidaknya jangan pernah lupa kacang sama kulitnya. Kara ingin membalas budi Buk War yang telah menjaganya selama ini dengan ikut membiayai kebutuhan anak panti.

Kini langkahnya tak lagi bersemangat. Dia duduk di teras depan dengan wajah muram. Disaat Kara sedih, dari dalam rumah terdengar alunan musik dinyalakan. Bukannya lagu sedih, malah lagu rock n metal yang di putar. Siapa lagi kalau bukan Buk war yang nyalain musik. Bener-bener dah, ibu panti satu ini gak tau apa ya ada orang sedih. Buk War memang bukan seperti kebanyakan image ibu-ibu panti yang lemah lembut. Kadang suaranya menggelegar kayak vokalis band metal.

“Ampun dah, kenapa saat sedih begini Buk War malah nyalain musik metal sih. Gak peka banget. Emang sesuai namanya nih, Buk War. War ngajak perang apa ya?” gerutu Kara lirih.

Dari  dalam rumah panti suara Buk War menggelegar.

“Ra!! Kara!! Bantuin ibuk nih jemur baju!!!”

Kara hanya diam dan melamun. Diiringi musik metal yang gak sesuai sama vibes sedih yang Kara rasakan. Hingga suara langkah kaki mendekat ke arahnya.

“Ra?! Kok malah duduk ngelamun sih? Bantuin ibuk lah.”

Wajah Kara masih lesu dan tak beranjak dari duduknya. Lalu Buk War duduk disamping Kara. Tetapi sebelum bicara dengan Kara, dia berteriak meminta salah satu anak panti mematikan musiknya.

“Hadeh, berisik banget sih musiknya.” gerutu Buk War kesal.

*Lah Buk War sendiri yang muter lagunya. Dia sendiri yang kesel. Ni orang-orang di ceritanya gak ada yang beres apa ya. Namanya juga komedi romantis jadi ya beginilah.

“Ra, kamu sedih kenapa? Sini cerita.” Buk War mengelus bahu Kara perlahan.
Suara helaan nafas berat terdengar dari gadis manis bermata sipit itu.

“Tempo hari, Buk War kan ngasih tau ada audisi di sebuah perusahaan dengan gaji 20 juta. Aku berusaha ikut audisi dan berharap banget ketrima. Tapi, aku gak lolos.”

Kara kelihatan sedih.

“Ra… Udah gak usah sedih. Nanti kalau sedih yang ada malah bikin kamu putus asa. Lebih baik kamu lawan rasa sedihmu. Buk War yakin bakal ada jalan. Ingat selalu, satu pintu boleh tertutup. Tetapi masih ada pintu lain yang pasti akan terbuka buat kamu.”

Maybe,  You're My Destiny Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang