"Bagas, umur 40 tahun berasal dari Bandung. Mantan pasukan Khusus Angkatan darat, posisi terakhir Penembak jitu. dikeluarkan dari angkatan bersenjata karena pelaku memiliki trauma berat akibat perang di Siberia. Riwayat penyakit mengidap PTSD(post traumatic stress Disorder), ditemukan Meninggal pukul 10.00 pagi didalam kamar hotel. penyebab kematian..."
"Sianida."
"Ya..kau benar." Menghempaskan dokumen yang Ia baca tadi diatas meja, mereka yang berada diruangan itu menghela napas lelah.
"Sialan, kita terlambat beberapa menit saja sebelum Ia mati karena keracunan." Salah seorang diantara mereka menginterupsi.
"Ketua Boby,tindakan apa yang harus kita ambil sekarang?" Ucap mereka serempak.
Boby, Menghela napas lantas memijat pelipisnya."Presiden dalam masa pemulihan, untungnya luka tembak itu hanya menembus tulang rusuk kirinya. untuk pelaku, tidak ada yang bisa kita gali lagi selain melepaskan kasus ini."
"Pelaku tidak takut untuk mati, dan dilihat dari wafer cokelat yang mengandung sianida itu. Kurasa Ia sudah merencanakan semua ini dengan matang, hanya saja ada yang menarik dari biodata si pelaku." Salah satu dari mereka kembali membuka berkas riwayat Bagas.
"Maka dari itu, tidak ada tanda si pelaku melakukan aksinya dengan suatu kelompok. Ia hanya melakukannya seorang diri, dan kurasa poin utamanya disini Bagas hanya ingin membalas dendam." Beberapa diantara mereka menganggukkan kepala.
"Tidak ada instansi atau kelompok lain yang terikat dengannya- tapi bukankah aneh jika dia yang notabenenya adalah mantan anggota pasukan khusus militer memiliki senjata seperti itu dengan mudah, dan juga riwayat penyakit yang dideritanya cukup membuatku mati berdiri karena jelas kita tahu, pengidap PTSD kebanyakan tidak bisa memegang senjata karena trauma mereka."
Boby baru saja ingin membuka suara, namun decitan pintu ruang mereka terbuka dan seseorang masuk membawakan sebuah berkas menyodorkannya kepada Boby. Mereka bangkit lantas membungkuk hormat kepada seseorang itu, lalu kembali duduk dan memusatkan perhatian mereka.
"Urus ini, Perintah langsung dari Blue House." Kedua alis Inspektur Boby mengkerut, Ia meraih berkas itu lantas kembali menatap seseorang dihadapannya.
"Tapi, Kepala eve. Bukankah ini terlalu berlebihan jika kita menangkap seluruh keluarga pelaku yang tidak tahu-menahu tentang kasus ini?" tanyanya berusaha berucap dengan sopan kepada wanita itu.
"Dan tembak mati-ini sangat menakutkan." tambahnya.
Eve tersenyum tipis, Ia menepuk bahu anak buahnya dengan santai. "Tidak menutup kemungkinan, keluarga pelaku akan menuntut balas dendam." ucapnya. Wanita itu tersenyum tipis dan kembali melanjutkan. "Ah~Kalian harus melakukannya atau kasus ini akan diserahkan kepada tim lain."
"Apa?!" seru mereka serempak tidak percaya. Inspektur Boby mendesah frustasi, menggelengkan kepala sebelum akhirnya menatap datar wanita berumur 40 tahun yang mana adalah Kepala Kepolisian pusat.
"Kami bukan bonekamu." Pria itu bangkit dari duduknya lalu menghempaskan surat perintah langsung dari Blue House diatas meja.
"Jangan kurang ajar Boby!" Eve memperingati.
"Ketua.. jangan seperti itu." Boby tersenyum kecut pada anak buahnya, pria itu menghembuskan napas panjang sebelum kembali membuka suara.
"Kupikir sumpah yang kita ucapkan setiap pagi untuk membela dan menjaga masyarakat adalah hal yang harus kalian pikirkan saat ini. Percobaan pembunuhan Presiden dilakukan Bagas bukan keluarganya! Apa kau gila, kepala eve?"
"Kau pikir aku bodoh untuk tidak menyadari jika kemauan mereka yang diatas sana adalah membungkam seluruh keluarga pelaku?-kita bahkan belum mencari kebenaran tentang penyebab Bagas melakukan itu jika begini aku semakin curiga ada sesuatu yang terjadi di pemerintahan." Ucap Boby sembari mengalihkan pandangan menatap sekelilingnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mystery (Delshel)
AcciónLangsung baca aja Cerita ini hanya fiksi ya jangan dibawa ke real yah Maaf kalau typo