Adipati menghentikan mobilnya di carport. Dia turun, berjalan masuk ke sebuah rumah minimalis yang lantainya dipenuhi berbagai jenis mainan anak-anak. Rasa sungkan muncul perlahan sebab ini bukan rumahnya.
Ya, laki-laki itu datang ke rumah sang mertua, dalam rangka menjemput anak laki-lakinya. Sebulan sekali mertuanya yang tinggal di luar negeri itu menjenguk Bima, juga melancarkan sebuah rencana.
"Bapak!"
Bima langsung melempar robot-robotan begitu melihatnya. Adipati tersenyum simpul. Tangannya meraih mainan yang baru saja dibuang anaknya.
"Lain kali jangan dilempar begitu, Bima. Kalau rusak siapa yang sedih? Kasihan Eyang Uti yang beresin mainan kamu."
Anak itu diam. Kembali tenggelam dengan mainan-mainannya. Adipati menghela napas.
"Sudah, nggak apa-apa. Namanya juga anak-anak."
Adipati mengangkat kepalanya ke sumber suara. Matanya berkedip menatap wanita paruh baya yang pernah melahirkan istrinya. Kemudian, kembali menatap sang putra. Bima anak pertama, cucu pertama, dan orang pertama yang berhasil mengantarkan ibunya ke alam berbeda, berpisah selamanya.
Tidak. Dia tidak sedang menyalahkan Bima. Dia justru bahagia Irma pergi setelah berjuang. Namun, Bima tidak tahu ibunya meninggalkan dunia tanpa mendengar fakta yang sebenarnya. Ini yang membuatnya berkali-kali digulung rasa penyesalan.
"Sini duduk! Ibu mau tunjukkin sesuatu."
Adipati menurut. Sebenarnya dia sudah bisa menebak apa yang akan ditunjukkan. Dia menurut agar ibu mertuanya tidak kecewa.
Yati duduk di samping Adipati, lalu mengeluarkan ponsel. Benda itu dinyalakan, kemudian tampak sebuah foto perempuan berkerudung dengan pakaian dinas cokelat.
"Namanya Safira. Dia guru SD. Sudah PNS katanya. Waktu itu pernah datang ke sini, lho. Pas Ibu mengadakan pengajian."
Adipati diam saja. Bingung ingin menanggapi apa.
"Kalau kamu suka, nanti Ibu ngomong ke ibunya perempuan ini. Kamu nggak usah pikirkan gimana-gimana. InsyaAllah dia perempuan yang baik, mampu mengasuh Bima."
"Bu, tapi--"
"Apa? Kamu mau bilang nggak siap?"
Mulut Adipati terkunci rapat.
"Mau sampai kapan? Ini sudah empat tahun. Kamu nggak mikirin Bima?"
"Aku masih bisa ngurus Bima sendiri--"
"Mana buktinya? Kamu lihat anak itu. Dia lebih kurus dari anak seusianya. Dia masih ngompol di celana. Kamu tinggal kerja, pulang sudah capek, kan? Waktu untuk Bima nyaris tidak ada. Kalau ada istri, kamu nggak perlu mikirin Bima lagi."
"Kalau begitu, aku bisa sewa baby sitter--"
"Nggak, Adi! Ibu mana rela kamu tinggal satu atap sama perempuan yang bukan mahram? Ibu tahu kamu mampu, tapi Ibu tetep nggak setuju."
KAMU SEDANG MEMBACA
Justifikasi Hati
RomanceBerangkat dari kecintaannya pada buku, Adipati menjadi seorang editor di salah satu penerbit mayor. Dia sangat mencintai pekerjaannya dan ikut bahagia saat penulis yang dibantu bukunya ada di rak best seller. Akan tetapi, dunianya tampak gelap. Sepa...