Pagi hari, Adipati sudah sibuk di dapur. Masak sarapan untuknya dan Bima. Sebelumnya Bima sudah dimandikan lalu dipakaikan seragam sekolah. Sekarang anak itu menunggu di ruang tamu. Tentu saja dengan mainan-mainannya yang berserakan.
Telur dadar dan oseng kangkung menjadi menu sarapan hari ini. Biasanya Adipati beli makanan jadi di luar, tetapi karena tadi dia terlambat bangun dan Bima susah diatur, pedagang nasi uduk yang biasa mangkal di depan rumahnya pergi karena sudah habis. Lagi pula, Bima tidak suka makanan itu. Anaknya kerap memilih makanan dan itu membuatnya pusing.
Jauh sebelum Irma muncul, Adipati melakukan semuanya sendirian. Ayahnya meninggal saat dia berusia sepuluh tahun, lalu ibunya menyusul lima tahun kemudian. Mau tidak mau, dia harus belajar mandiri sebab tidak punya siapa-siapa di sini. Kerabatnya tinggal jauh-jauh.
Kehadiran Irma pun tidak lantas menjadikan Adipati laki-laki manja. Dia tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membantu istrinya. Apalagi, sewaktu hamil Bima, Irma harus istirahat di tempat tidur. Hanya saja setelah perempuan itu pergi, dia kehilangan semangat hidup. Rumah dibiarkan berantakan, persis seperti hatinya yang porak-poranda.
"Pak, aku mau pipis."
Suara Bima di belakang terdengar. Adipati menghentikan aktivitasnya sejenak, kemudian menunduk.
"Kalau mau pipis, langsung ke kamar mandi. Bapak lagi masak."
Bima langsung berlari ke kamar mandi. Sekelebat Adipati melihat celana anak itu basah. Saat itu juga dia mematikan kompor, lalu mengejar anaknya, masuk kamar mandi.
"Bima! Kamu ngompol lagi?"
Bima tidak menjawab. Tangannya hendak menyalakan keran air, tetapi segera ditepis oleh Adipati.
"Jawab bapak! Kamu ngompol di mana?"
"Di kursi, Pak."
Adipati memejamkan mata. Menahan gejolak di dalam dada. Pipis sembarangan masih dilakukan anak ini. Bima sudah lepas popok sejak dua tahun yang lalu karena sering ruam. Anak itu kerap menangis karena tidak nyaman. Entah sudah berapa kali Adipati menjemur sofa akibat kelakuan Bima. Tidak hanya di rumah, Bima bisa mengompol waktu di kelas, makan di luar, bahkan pernah saat menghadiri acara ulang tahun temannya. Adipati tidak tinggal diam. Dia sudah mengajarkan Bima pipis yang benar berkali-kali, tetapi tidak ada yang berhasil. Dia harus menebal muka di depan guru setiap kali mendapat laporan.
"Bima, bapak udah sering bilang, kalau kamu pengin pipis itu ngomong. Biar bapak antar kamu ke kamar mandi. Kamu tahu nggak, ini celana seragam untuk hari ini. Kalau basah, kamu mau pakai celana apa?"
"Bima nggak bisa tahan pipisnya, Pak!"
Bima mulai merengek, lalu menangis kencang. Adipati yang mendengar itu lantas menghela napas. Hatinya kembali hancur untuk kesekian kalinya.
Irma, apa aku gagal jadi orang tua?
Tidak mau anaknya terlambat sekolah, Adipati segera mengusap air mata di pipi Bima. Mengusap punggungnya. "Sudah, jangan nangis. Bapak maafin kamu kali ini, tapi nanti jangan diulangi lagi, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Justifikasi Hati
RomanceBerangkat dari kecintaannya pada buku, Adipati menjadi seorang editor di salah satu penerbit mayor. Dia sangat mencintai pekerjaannya dan ikut bahagia saat penulis yang dibantu bukunya ada di rak best seller. Akan tetapi, dunianya tampak gelap. Sepa...