Tiga

194 18 0
                                    

Hazfi melajukan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Mengabaikan klakson pengendara lain. Karena demi apa pun perasaannya sedang berantakan dan tidak karuan.

Perkataan serta penolakan yang diucapkan oleh Mahesa rupanya memukul telak dirinya.

Ia sudah terbiasa dengan semua penolakan yang lelaki itu berikan. Tapi tidak peduli seberapa sering ia mendapatkannya, ia belum juga terbiasa. Rasanya masih saja sama, menyakitkan.

Hazfi menepikan motornya di bahu jalan yang cukup sepi, kemudian ia melepas helm full face-nya dan turun untuk melangkah ke arah pembatas jalan.

Di bawah sana ada aliran sungai yang mengalir cukup deras. Hazfi memandang ke arah sungai itu dengan tatapan sendu.

Seketika bayangan masa lalu dirinya bersama Mahesa memenuhi isi kepalanya. Saat mereka masih dekat. Ketika mereka masih bersahabat.

Mahesa adalah satu-satunya orang paling dekat dengan dirinya. Lelaki itu selalu ada untuk Hazfi. Baik di saat senang maupun sedih.

Bagi Hazfi, Mahesa adalah segalanya.

Sahabat serta rumah ternyaman yang pernah ia punya. Tempat ia berkeluh kesah. Orang yang selalu mendengarkan ia cerita, atau bisa disebut sebagai pendengar yang baik.

Semua akan terasa lebih mudah ketika ada lelaki itu di sampingnya. Setidaknya Hazfi tidak merasa sendirian.

Namun, semua itu harus berakhir kala Mahesa mengetahui perasaan yang ia miliki untuk lelaki itu.

Mahesa tahu jika Hazfi yang merupakan sahabatnya memilki rasa lebih daripada sahabat terhadapnya.

Nyatanya perhatian dan kepedulian yang Mahesa berikan pada Hazfi menimbulkan rasa nyaman lain di hati pemuda itu. Dan Mahesa yang tidak mau perasaan yang dimiliki Hazfi semakin besar pun memilih untuk menjauh.

Persahabatan yang mereka bangun dari masa kecil harus hancur karena perasaan yang seharusnya tidak tumbuh di antara keduanya. Tidak, salah satu dari mereka.

Seharusnya tidak ada yang menaruh perasaan cinta di antara mereka berdua, karena bagaimanapun mereka hanya akan menjadi sahabat, tidak lebih. Itu yang Mahesa pikir.

Di tempat lain, di ruang OSIS tepatnya Mahesa juga memikirkan hal yang sama seperti Hazfi. Lelaki itu memikirkan persahabatannya yang kandas.

Mahesa bukannya menjauh, tapi ia hanya ingin memberikan waktu pada Hazfi untuk melupakan perasaannya dan menghilangkan perasaan yang pemuda itu miliki terhadapnya. Hanya itu.

Setelah Hazfi bisa menghilangkan rasa cintanya pada Mahesa, mereka akan bisa kembali menjadi sahabat. Mereka bisa melupakan permasalahan sebelumnya. Anggap semuanya tidak pernah terjadi dan mereka masih baik-baik saja.

Seharusnya bisa semudah itu, dan bukannya malah menjadi sulit seperti ini. Mahesa pikir semua akan mudah. Tapi lagi-lagi prediksi manusia jarang sekali tepat.

Semua menjadi rumit.

Terlebih ketika Hazfi malah mengejar dirinya daripada menyerah dan melupakan perasaannya.

Semua menjadi semakin sulit untuk Mahesa. Juga perasaannya.

Mahesa menggulir layar ponselnya hingga berhenti di foto mereka berdua. Di sana ada dua orang lelaki dengan pose lelaki yang lebih menggendong lelaki yang lebih muda.

Tanpa sadar bibir Mahesa menyunggingkan senyum. Sebuah senyum lembut yang hangat dan begitu tulus.

Bohong jika Mahesa bilang kalau ia tidak merindukan Hazfi. Bohong jika Mahesa bilang kalau ia baik-baik saja tanpa Hazfi di sampingnya. Semua itu bohong.

ABHINAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang