12

110 9 0
                                    

Hazfi sekarang sedang berbaring di atas tempat tidurnya dengan netra memandang langit-langit kamarnya.

Pemuda itu begitu bahagia, itu terlihat dari bibirnya yang tak berhenti melengkungkan senyuman.

Bayangan sore itu masih melekat jelas dalam ingatan Hazfi, di mana akhirnya ia kembali bisa menghabiskan waktunya bersama Mahesa.

Bagaimana mereka membagi cerita dan tawa, jarak itu tak lagi ada. Akhirnya mereka kembali dekat.

Walaupun begitu, tetap saja di sudut hatinya Hazfi masih merasa ada ketakutan. Di satu sisi ia bahagia karena hubungannya dengan Mahesa kembali membaik dan akrab, tetapi di sisi lain ia juga merasa takut.

Hazfi takut perasaan yang ia miliki pada Mahesa semakin besar, Hazfi takut kedekatan mereka membuat perasaan yang sudah tertanam di dalam hatinya untuk Mahesa semakin menguat.

Hazfi takut jika ia kalah dari perasaannya dan kembali berharap pada Mahesa untuk membalas cintanya.

Sesuatu yang tidak akan mungkin terjadi, dan pada akhirnya ia kembali terluka.

Namun, untuk menjauh dari Mahesa pun rasanya Hazfi tidak akan sanggup. Karena bagi Hazfi, Mahesa masih menjadi sebagian dari napasnya.

Mahesa bagaikan udara untuk Hazfi.

Tak mengapa meskipun jika nantinya ia akan merasakan kesakitan, setidaknya ia masih bisa bernapas.

Hazfi masih akan tetap bisa hidup meskipun dalam kesakitan.

Gila memang, tapi bukankah cinta memang seperti itu? Membuat orang kehilangan sisi warasnya saat dilanda mabuk cinta.

Hazfi sudah menyiapkan hatinya jika kemungkinan-kemungkinan terburuk itu terjadi. Ketika ternyata yang dipilih Mahesa bukanlah dirinya, jika ternyata ia bukan takdir dari seorang Mahesa. Hazfi sudah harus terima dan siap. Meskipun ia tahu bahwa itu berat dan tidak akan pernah mudah.

Bukankah hidup itu meliputi dua hal? Bersyukur dan ikhlas.

Bersyukur untuk apa yang dimiliki, dan ikhlas merelakan sesuatu yang bukan ditakdirkan untuk dimiliki.

Seseorang bisa mengubah nasib dengan berjuang, tetapi tidak bisa melawan takdir yang sudah ditetapkan.

Karena bagaimanapun takdir dan nasib itu berbeda. Keduanya tidak sama.

Suara ketukan pintu membuat Hazfi mengalihkan atensinya, dan tak lama kemudian muncul sosok pria dewasa di penghujung usia tiga puluhan.

Senyum pria itu tak dapat menyembunyikan gurat kelelahan di wajahnya. Hati Hazfi terenyuh dan langsung lari ke pelukan sang ayah.

Sang ayah tentu menerima pelukan Hazfi dengan hangat. Tangannya dengan lembut mengelus punggung anak semata wayangnya.

Meskipun waktu yang mereka miliki tak banyak karena Jonathan—ayah Hazfi selalu disibukkan oleh kerjaan dan sering pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya, bukan berarti hubungan mereka buruk.

Hubungan mereka baik, sangat baik malah. Hanya saja Jonathan begitu disibukkan oleh urusan kerjaan sehingga membuat waktu mereka bersama tak banyak. Dan hal itu yang membuat Hazfi sering merasa kesepian.

Jonathan bukannya tak mau meluangkan waktunya untuk bersama putranya, tetapi pekerjaan yang menuntut dirinya untuk melakukannya.

Pria itu juga sepenuhnya sadar jika putranya merasa kesepian, Jonathan tahu jika Hazfi butuh teman.

Jonathan tahu Hazfi membutuhkan dirinya sebagai teman mengobrol, sebagai sosok orang tua, dan sosok seorang ayah.

Mengingat point terakhir membuat hati Jonathan sedih, ia merasa menjadi sosok ayah yang buruk.

Hazfi melepaskan pelukannya dan berkata, "Akhirnya ayah pulang juga."

"Afi belum tidur?" tanya Jonathan dengan nada lembut.

"Belum, Aku nungguin ayah pulang."

Tersenyum Jonathan mengelus rambut Hazfi. "Lain kali kalau Afi udah ngantuk Afi tidur aja ya, takutnya ayah pulang kemalaman."

Hazfi mengangguk seperti anak penurut. "Oleh-oleh buat aku mana, Yah?.

Kali ini Jonathan tertawa ketika ditagih oleh-oleh. "Jadi ini karena nungguin ayah apa oleh-oleh nih?"

Hazfi mengeluarkan cengiran lebarnya. "Jelas ayah dong, oleh-oleh itu nomor ke seratus. Tapi meskipun nomor ke seratus oleh-oleh itu wajib."

Jonathan hanya bisa geleng-geleng kepala saat mendengar penuturan yang keluar dari lisan putranya.

"Oleh-olehnya udah ayah siapin, banyak makanan sama camilan yang ayah beli buat kamu, tapi masih ada di dalam tas, belum sempat ayah keluarin."

"Makasih ya ayah." Hazfi kembali memeluk ayahnya.

Ayahnya memang yang terbaik, ia tahu apa yang putranya itu suka. Ya, Hazfi lebih suka diberi oleh-oleh berupa makanan daripada barang-barang. Karena menurut Hazfi makanan itu nomor satu, dan barang-barang tidak bisa membuat dirinya kenyang.

"Ayah berapa lama di rumah?" tanya Hazfi, membuat suasana mendadak hening.

Ada raut bersalah yang Hazfi tangkap dari wajah Jonathan, dan sekarang Hazfi yang merasa bersalah karena menanyakan hal itu. Seharusnya ia tidak menanyakan perihal itu, karena itu merupakan topik sensitif.

"Sehari, nanti lusa ayah udah harus pergi lagi buat urusan kerjaan di kota b, tapi setelah projek ini selesai dan berhasil, ayah akan sering berada di rumah, paling cuma kunjungan beberapa kali buat ngontrol."

Netra Hazfi berbinar bahagia. "Yang bener, Yah? Aku seneng banget dengernya."

"Iya, kamu doain ya semoga urusan ayah cepet kelar, supaya ayah punya banyak waktu buat kamu."

"Iya ayah. Itu udah pasti. Aku akan doain ayah supaya urusan pekerjaan ayah cepet selesai dan ayah punya banyak waktu buat aku."

"Makasih ya, Nak. Ayah janji setelah urusan ayah selesai, ayah bakal ajak kamu jalan-jalan, ayah bakal ajak kamu makan ke tempat yang kamu suka."

"Makasih ya ayah, aku udah gak sabar banget nunggunya."

"Ya udah, sekarang kamu tidur aja dulu, udah malam. Nanti pagi kita sarapan bareng."

"Iya, ayah."

"Ya udah, ayah keluar dulu. Kamu langsung tidur ya, jangan main handphone lagi."

Hazfi tertawa canggung. "Gak kok ayah, aku bakal langsung tidur."

Jonathan pergi setelah sebelumnya mengelus rambut Hazfi.

Sekarang hanya menyisakan Hazfi yang berada di kamarnya dengan raut wajah bahagia.

Bagaimana tidak?

Setelah sebelumnya hubungan ia bersama Mahesa ada perkembangan dan kembali mulai dekat, sekarang ia mendengar kabar bahwa ayahnya akan menetap lama di rumah dan akan mengajaknya jalan-jalan.

Siapa yang tidak bahagia ketika mendengar berita baik?

Hazfi benar-benar merasa berterima kasih pada semesta karena telah begitu baik padanya.

Setelah sekian lama Hazfi menunggu akhirnya ia menemukan ujung dari penantiannya. Akhirnya hari itu datang juga, hari di mana ia bisa menghabiskan waktu bersama ayahnya dengan lebih lama.

Terimakasih semesta, dan aku harap ini bukan awal dari segalanya.

TBC...

Finally bisa update juga, rl gw sibuk banget😞

Jadi paling bisa nulis ya hari Minggu😁

Update an hari ini semoga suka..

Apresiasi dari kalian sangat gw butuhkan agar gw bisa lebih semangat..

Sampai jumpa di chapter selanjutnya 🤍🤍

Ry, 19 May 2024.



ABHINAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang