eight

309 46 1
                                    

Ini jauh lebih baik. Birunya air laut yang dihiasi buih-buih ombak, suara gemuruhnya yang entah mengapa menenangkan, juga pasir putih yang menyapa kakiku dengan sangat lembut. Aku dapat berlari, berputar-putar, hingga tertawa dengan bebas.

Hamparan langitnya luas, sejauh apapun aku melangkah, aku tak menemukan ujungnya. Aku juga tak menemukan dinding yang membatasi pergerakanku atau mendapati sepasang mata yang selalu memandang kemana aku melangkah, jadi beginikah rasanya kebebasan yang sebenarnya?

Aku benar-benar bahagia sampai air mataku mengalir dengan sendirinya. Perasaan meluap yang tak bisa ku kendalikan ini tumpah, semua mimpi yang ku idam-idamkan ketika berada dimansion akhirnya dapat tercapai.

“Kak, kenapa menangis?” Leon panik.

Aku terkekeh sambil mengusap air mata, “apa ini mimpi, Leon? aku sangat bahagia. Jangan bangunkan aku dari mimpi ini ya.”

Leon mengangguk, “tenang kak, aku akan membuat hari-harimu selalu terasa menyenangkan seperti mimpi. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi sekarang.”

Aku tersentuh dengan perkataannya, “ya, tidak ada yang perlu aku khawatirkan lagi sekarang.”

Hidupku akhirnya menjadi milikku lagi.

Sudah berapa lama aku menantikan hari ini?

“Lihat, aku membuat istana pasir kak.”

Menoleh pada Leon, ia sedang memadatkan pasir halus ini dan membangunnya menjadi sebuah bangunan. Ketika diberi detail, itu memang mirip dengan kastil.

“Waah,” aku penasaran jadi aku mencobanya, berusaha membantu. Sayangnya tangan ceroboh ini bergerak sembarangan dan malah menyenggol istana pasir Leon.

“Ma-maaf Leon!”

Anak itu diam saja. Rasa bersalahku jadi memuncak. Aku berusaha memperbaikinya tapi ternyata lebih sulit dari perkiraanku. Berkali-kali ku coba, aku malah semakin merubuhkan pondasi kokohnya.

“Hahahaha!”

Tawa Leon menyita atensiku, aku bingung kenapa ia tertawa, bukannya ia marah ya?

“Kenapa panik begitu sih, padahal aku bisa membuatnya lagi,” tangannya kembali meraih pasir lalu memadatkannya. Aku jadi lega karena ia tidak marah.

“Habisnya wajahmu seram sekali tahu!”

“Benarkah? yang seram itu wajah kakak tahu! marah-marah saja kerjaannya.”

“Itu ‘kan kamu juga yang membuatku marah!”

“Loh? kenapa jadi aku lagi, kakak ini tidak tahu malu ya.”

“Apa kau bilang!?”

“Tuh ‘kan! marah lagi.”

“Leooon!!!”

Setelah lelah bertengkar dengan Leon, aku merebahkan diriku dipasir halus ini. Seru sekali rasanya, terkadang ombak kecil menyapa kakiku dengan lembut.

Pyas!

Tiba-tiba saja ada air yang menyiprati wajahku. Tentu saja pelakunya Leon, iseng sekali ia meraup air lalu menjatuhkannya tepat diwajahku.

Untung aku sedang bersabar, “sudah main-mainnya Leon.”

Ia yang hendak lari karena takut ku balas jadi terkekeh malu. Tak lama ia berani memposisikan dirinya disebelahku, menengadah juga menghadap langit.

“Aku mau tinggal disini saja.”

Perkataanku membuat Leon mencibir, “tidak bisa begitu, memangnya kau manusia purba?”

“Dasar.”

Pretty Menace Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang