BAB 2

5 1 0
                                    

Mobil Zia berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dengan pilar-pilar besar yang menghiasinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mobil Zia berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dengan pilar-pilar besar yang menghiasinya. Rumah bergaya eropa itu adalah rumah ibunya di mana putra semata wayangnya itu kini berada. Zia menarik napas panjang dan menghembusnya dengan pelan mencoba mendapatkan ketenangannya kembali setelah diporak-porandakan oleh Rafif. Seulas senyum terlukis di wajahnya sebelum ia melangkah keluar dari mobilnya dilanjutkan dengan langkah ringan masuk ke dalam rumah besar nan megah ini. Senyum Zia yang awalnya hanya dipaksakan kini berubah menjadi senyum yang sangat tulus setelah disambut oleh anak kecil berusia enam tahun berlari ke arahnya.

"Mama!" Begitulah seruan yang dilontarkan anak kecil itu sampai dia berada di gendongan ibunya.

Zia mendaratkan kecupan hangat di pipi putranya. "Sayangnya Mama. Maaf, ya, Mama telat jemputnya," ujar Zia.

"Enggak apa-apa, Ma," balas anak kecil itu semakin mengeratkan pelukannya.

Kenzie Arbrata, anak lelaki itu selalu berhasil menghilangkan rasa lelah ibunya setelah seharian bekerja. Ada saja tingkah imut yang ia tunjukkan dan selalu berhasil membuat Zia tertawa.

"Tadi aja dia terus suruh Mama telepon kamu," celetuk seorang wanita yang tampak lebih tua dari Zia.

Wanita berusia 50-an tahun itu adalah Sonya, ibu Zia yang selalu bersedia menjaga cucunya saat putrinya itu disibukkan oleh setumpuk pekerjaan. Zia yang melihat kehadiran wanita itu segera beranjak ke sofa dan mencium tangan ibunya sebelum beralih duduk.

"Gimana hari kamu? Semuanya baik-baik saja, kan?" tanya Sonya.

"Iya, Ma. Semuanya baik."

Sonya memandang putrinya dengan lekat. Senyum dan tatapan kosong itu menarik kecurigaannya. Sekeras apapun Zia menyembunyikan sesuatu semua itu pasti akan tetap terbongkar oleh ibunya. Seperti saat ini, dia merasa ada yang disembunyikan oleh putri sulungnya itu. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.

Zia terlihat sangat bahagia saat bermain dengan Kenzie. Sonya jadi takut untuk mengutarakan sesuatu yang ingin sekali ia katakan pada putrinya itu. Terlebih lagi saat ia tahu putrinya itu selalu marah tiap kali Sonya berusaha menjodohkannya dengan seseorang. Sebagai seorang ibu, dia jelas sangat tahu kisah masa lalu Zia dan apa yang membuat wanita itu tidak ingin menikah lagi, namun sebagai ibu tunggal dia juga sangat mengerti betapa sulitnya mengurus anak seorang diri saat ia kehilangan suaminya karena kecelakaan. Terlebih lagi usia Zia saat itu masih terlalu muda untuk kehilangan seorang ayah. Dia sudah merasakannya dan dia tidak ingin putrinya turut merasakan hal itu.

"Zi, kamu nginap di sini saja, ya," pinta Sonya.

Zia menoleh ke arah ibunya dengan tanda tanya besar, tidak biasanya wanita itu memintanya untuk tinggal. "Kenapa, Ma? Mama pasti mau bicarain sesuatu. Bilang aja, Ma, enggak apa-apa."

Kedua tangan Sonya saling bertumpu sekarang pertanda kegelisahan sedang menyerangnya saat ini. Dia lalu memanggil salah-satu pembantunya untuk bermain dengan Kenzie di tempat lain. Sejauh anak itu tidak akan bisa mendengarkan obrolan mereka. Setelah memastikan situasi cukup aman. Sonya beranjak duduk lebih dekat dengan putrinya dan menggenggam tangan wanita itu dengan erat.

"Zi ... tadi pagi Mama ketemu sama teman lama Mama."

"Iya, lalu?"

"Mmm, di-dia berencana mau ngelamar kamu untuk-"

Zia segera menarik tangannya dari genggaman ibunya. Benar saja, raut wajah Zia langsung berubah dingin.

"Dengerin Mama dulu, Nak. Dia laki-laki yang baik dan penyayang. Dia bisa jadi suami yang baik untuk kamu."

"Aku enggak butuh suami, Ma." Sebisa mungkin nadanya terdengar netral meski amarah mulai menggelitikknya saat ini.

"Ken butuh seorang ayah, Zi."

"Dia tidak butuh, Ma!" tanpa sadar suara Zi meninggi kepada ibunya. "Enam tahun. Aku membesarkan putraku selama enam tahun, SENDIRIAN!" tegasnya.

"Jangan membohongi diri kamu, Zi! Kamu sendiri tahu bagaimana rasanya hidup tanpa ayah!" Suara Sonya ikut membesar melihat betapa keras kepalanya putrinya ini. "Mungkin kamu lupa kalau kamu pernah menangis dan tidak mau sekolah karena kamu dihina tidak punya ayah, tetapi Mama, tidak akan pernah lupa betapa sakitnya saat kamu mencari ayah kamu."

Zia bungkam dengan mata yang berkaca-kaca. Apa yang bisa ia katakan lagi sedang semua yang diutarakan ibunya adalah fakta. Bahkan sampai detik ini dia juga terkadang menginginkan sosok ayah.

"Saat kamu menanyakan keberadaan ayah kamu. Mama punya jawabannya, tetapi Kenzie ... kamu enggak mungkin bilang kalau papanya bersama wanita lain, kan?"

"Ma!" Zia berdiri dan menatap ibunya dengan air mata yang mulai jatuh. "Please jangan bahas masa lalu aku!"

Sonya turut berdiri. "Lalu kamu? Kamu sendiri yang mengurung diri kamu dengan masa lalu kamu, kan? Dengar Mama baik-baik, Zi. Laki-laki itu tidak sama, tapi kalau kamu memilih untuk tetap terperangkap dengan masa lalu kamu maka jelas semua laki-laki sama di mata kamu."

Sonya menghela napas berat melihat air mata putrinya terus berjatuhan. Dia tahu aksinya akan membuat anaknya sedih, tetapi ini yang terbaik untuknya. Zia harus bisa keluar dari masa lalunya.

"Maafkan, Mama, Nak," ujar Sonya sembari memeluk erat tubuh putrinya. "Mama cuman ingin kamu punya keluarga yang lengkap. Mama cuma mau lihat kamu sebahagia dulu," lanjutnya.

Zia tak membalas pelukan ibunya. Dia hanya terisak di sana seakan memori masa lalunya kembali terbayang di ingatannya. Semua tampak jelas, sehingga menumbuhkan luka lagi di hatinya.

000

Zia menghapus setitik air mata yang baru saja jatuh dari pelupuk matanya sebelum membuka pintu kamar di mana Kenzie tengah bermain saat ini. Ditatapnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang. Dia memang beruntng karena sampai detik ini Kenzie tidak pernah menanyakan keberadaan ayahnya atapun bahkan menanyakan apa ia punya ayah atau tidak. Namun, berkat ucapan Sonya tadi, Zia mulai merasa cemas jika suatu saat nanti Kenzie menanyakannya dan dia tidak tahu harus menjawab apa. Berbohong bahwa ayahnya sudah meninggal? Zia tak setega itu.

"Mama!" seru Kenzie yang melihat kehadiran ibunya.

Zia tersenyum dan menghampiri putranya. Dia duduk di hadapan Ken setelah asisten rumah tangga meninggalkan mereka berdua di ruangan itu. Zia memandang putranya yang tengah bermain dengan mobil mainannya dengan lekat. Bagaimana Zia bisa melupakan masa lalunya sedangkan wajah mantan suaminya tercetak jelas di wajah putranya saat ini? Setiap kali dia membuka mata wajah Kenzie selalu membawa memori indah Zia bersama manta suaminya untuk kembali terbayang. Mata, hidung, bibir bahkan bentuk wajah Kenzie benar-benar mirip dengan ayahnya.

"Coba aja kamu hadir lebih awal, Nak, kamu pasti masih punya ayah dan kita adalah keluarga yang lengkap." Zia membatin, tetapi ia segera menggeleng menghapus semua prasangka buruk itu. Apapun yang terjadi itulah yang terbaik untuknya.

Zia benar-benar masih mengingatnya seperti ingatan itu masih basah di kepalanya.

To Be Continued

Until MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang