"Kamu itu sebenarnya bisa hamil enggak, sih?"
Kalimat yang dilontarkan oleh ibu mertuanya itu telah merubah suasana rumah tangga yang terlihat harmonis itu menjadi dingin. Sejak pertanyaan itu terlontar dari setahun yang lalu hubungan suami istri itupun berubah menyesakkan. Sejatinya pernikahan memang tak mudah. Juga tak seindah ending dongeng yang selalu berakhir dengan kalimat 'bahagia untuk selama-lamanya'.
Zia berpura-pura tak mendengar dengkusan dan juga sikap tak suka Artha saat ia mengisi piring suaminya itu dengan nasi dan berbagai lauk pauk yang sudah dimasaknya sejak pagi-pagi sekali. Sudah setahun Zia berlagak baik-baik saja meski pernikahannya sudah tidak menyenangkan seperti awal-awal pernikahan mereka. Keduanya tampak seperti orang asing yang dipaksa untuk tinggal bersama dalam satu atap.
"Lauknya mau ditambah, Mas?" Tak ada yang salah dari pertanyaan yang dilontarkan Zia, tapi entah kenapa, hati Artha merasa sangat kesal.
"Sampai kapan, sih, kamu jadi orang yang banyak tanya?" Artha segera menarik piringnya mendekat, sedang Zia berusaha tersenyum sebelum beralih duduk di hadapan suaminya.
Ini bukan kali pertama Artha mengatakan hal-hal yang membuat hati Zia remuk dan perih. Saat wanita itu meminta penjelasan ataupun mengatakan apa yang ada di dalam hatinya, maka Artha akan memberang dan semakin marah padanya. Saat seperti ini, Zia hanya bisa menunduk menyembunyikan wajahnya dari tatapan tajam Artha yang menghujam padanya.
"Aku muak, Zi, dengan semua deretan pertanyaan enggak penting kamu. Seharusnya kamu enggak perlu tanyain hal sepele kayak gitu? Memangnya kita baru kenal?" pertanyaan Artha membuat Zia menatapnya dengan lirih.
"Bukankah kamu yang bersikap seolah kita tidak saling mengenal, Mas?" tanya Zia setelah mendapatkan keberaniannya. Dia mengambil jeda sebelum melanjutkan perkataanya. "Kamu memberi jarak pada hubungan kita."
"Kamu benar-benar buat aku muak!"
Pria itu mulai memakan makannya begitu juga dengan Zia yang mencoba mengabaikan rasa sakit akibat ucapan Artha barusan. Zia benar-benar tidak paham, mengapa semuanya bisa berubah secara tiba-tiba. Mengapa pernikahan ini terasa sesak? Bukankah mereka tidak pernah merasakan ini semua saat awal-awal menjalin kasih. Sehingga keduanya yakin bila memang keduanya tak akan pernah merasa jengah satu sama lain dan pernikahan ini tak akan mengubah apa pun.
Hanya suara alat makan yang terdengar di tengah kesunyian yang tercipta. Tidak ada obrolan hangat ataupun sentuhan-sentuhan kecil yang menghangatkan hati. Semuanya jelas berbeda sekarang. Zia lelah meminta penjelasan tentang perubahan itu dan juga mempertanyakannya. Zia memilih diam dan berusaha menyemangati dirinya sendiri jika suatu saat nanti semuanya akan membaik seperti sedia kala.
Zia tetap melakukan kebiasaannya. Membersihkan bekas sarapan mereka lalu mengantartarkan suaminya ke depan rumah. Hanya saja Artha kini selalu merampas tas kerja yang hendak dibawakan istrinya itu bahkan sampai mendahului wanita itu sehingga ia harus berlari pelan untuk menyeimbangi langkahnya. Zia hanya bisa bungkam memandang punggung suaminya yang semakin menjauh setelah melewati pintu. Tidak ada kata pamit ataupun ucapan salam pada istrinya terlebih dahulu, lelaki itu langsung saja masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya secepat kilat, seolah tidak ingin berlama-lama di tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until Marriage
General FictionTrauma masa lalu mengekangnya dalam ketakutan. Hati yang dipenuhi cinta itu berubah hambar tanpa rasa sedikitpun. Setelah bercerai Fauzia menutup hatinya rapat-rapat, tak membiarkan siapapun untuk membukanya lagi. Pernikahan bahagia yang ia impikan...