BAB 4

6 0 0
                                    

Zia yang sudah membersihkan dirinya dan menunaikan shalat maghrib, kini tengah mematut diri di depan cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zia yang sudah membersihkan dirinya dan menunaikan shalat maghrib, kini tengah mematut diri di depan cermin. Riasan wajahnya kali ini ia buat lebih tebal dari biasanya guna menutupi bengkak setelah menangis seharian yang terlihat jelas di wajahnya. Meskipun Artha selalu pulang tengah malam, Zia tetap saja selalu menyiapkan makan malam untuk suaminya itu meskipun ketika ia bangun di pagi hari, makanan itu masih ada dan tak pernah tersentuh sedikitpun. Zia tidak ingin makan sendiri lagi malam ini. Jadi, diputuskannya untuk menghubungi sahabatnya, Ayana untuk menemaninya malam ini dan ia berniat untuk mencurahkan segalanya. Zia tidak ingin terus tenggelam dalam lukanya.

Zia segera beralih ke ruang makan untuk menata piring sebelum Ayana tiba. Sesuai perjanjian, sahabatnya itu akan tiba pada pukul tujuh malam. Itu berarti lima menit lagi. Zia dengan telaten menata makanan di atas meja sampai ia dihentikan oleh suara bel pintu yang berbunyi. Dia bergegas membukakan pintu untuk orang yang telah ia tunggu-tunggu kehadirannya.

Sebuah pelukan rindu langsung Zia dapatkan dari perempuan berambut panjang itu. Sejak Zia menikah keduanya memang jarang sekali bertemu bahkan ini adalah pertemuan pertama mereka setelah enam bulan.

"Aku pikir kamu udah ditelan bumi. Enggak pernah kasi kabar. Ditelepon enggak pernah nyambung," sindir Ayana begitu melepaskan pelukannya.

Keduanya berjalan beriringan menuju meja makan. "Aku habis ganti nomor, dan aku sibuk belakangan ini."

"Iya deh yang paling sibuk jadi istri. Oh, iya, suami kamu mana?"

"Belum pulang," jawab Zia sambil duduk di samping Ayana. "Aku masak Tom Yum kesukaan kamu."

Mata Ayana berbinar diiringi seruan panjang melihat makanan khas Thailand yang menjadi kesukaannya terpampang nyata di depan mata. Seketika rasa laparnya semakin membuncah, dia dengan segera mencicipi kuah Tom Yam khas dengan cita rasa pedasnya. Zia memang hobi memasak dan mencoba setiap resep yang ia temukan lalu Ayana adalah jurinya. Dia selalu bersedia mencicipi masakan Zia yang kadang berhasil, tetapi tidak sedikit juga gagal. Saking lezatnya makanan yang ia santap saat ini, Ayana sampai lupa keberadaan Zia yang tidak bersuara lagi sejak mereka mulai makan.

Ayana mengangkat wajahnya dan menemukan Zia tengah mengaduk-aduk Tom Yum miliknya dengan gusar. Seperti dia hendak mengutarakan sesuatu. Sejatinya Zia tengah menimang sesuatu di benaknya saat ini. Apakah tidak masalah menceritakan masalah rumah tangganya pada orang lain? Namun, dia tidak bisa menanggung semua ini lagi sendirian. Terkadang menceritakan masalah kepada orang lain bisa sedikit membantu. Lagipun, Ayana bukan orang asing lagi baginya, keduanya sudah berteman sejak SMA dan selama ini Zia selalu berbagi segalanya kepada sahabat-sahabatnya. Yah, bukan hanya Ayana saja, tetapi pada sahabat laki-lakinya juga yang sudah putus kontak dengannya sejak Zia menikah.

"Zi, kamu baik-baik saja, kan?" tanya Ayana, "Maaf karena lupa tanyain kabar kamu. Habisnya masakan kamu enak banget. Aku jadi lupa, deh, he he he."

Zia menipiskan bibirnya. "Iya, kayaknya," jawabnya dengan nada yang cukup berat.

Ayana memperhatikan wajah Zia dengan seksama. Jelas sorot mata wanita itu terdapat kesedihan. "Kamu pasti sembunyiin sesuatu, Zi. Semuanya kelihatan jelas di wajah kamu." Perempuan itu menebak dan membuat Zia tersenyum tipis. Tak bisa lagi menyangkal.

Zia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dengan menghela napas panjang. "Aku baik-baik saja, Ay. Enggak ada yang perlu kamu khawatirkan." Zia tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Perubahan sikap suaminya atau semua perkataan tajam pria itu dan tuntutan mertuanya yang ingin segera diberi cucu. Wanita itu benar-benar sudah kehabisan tenaga untuk menceritakan semua luka yang ia tanggung sendiri.

"Kamu mau coba bohongi aku? Kita sudah berteman selama sembilan tahun. Apa kamu pikir kamu bisa?" sindir Ayana seraya melipat tangan di depan dada, "Apa ini tentang Artha?" Wanita itu menatap sahabatnya dengan tatapan meneliti.

Zia tidak bisa lagi menyangkal. Dia mengangguk pelan. "Sikap dia berubah belakang ini. Aku rasa dia ... punya perempuan lain."

Mata Rania membulat dan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya.

"Dia selalu membentak dan menatap aku dengan marah. Bahkan dia tidak pernah berpamitan lagi setiap kali dia pergi ataupun memberi kabar kalau dia akan pulang terlambat." Suara Zia bergetar hebat, membuat Ayana segera menggenggam erat tangan sahabatnya itu yang ada di meja.

"Ini semua mugkin hanya dugaan kamu. Kamu punya bukti kalau dia selingkuh?" Ayana bertanya dengan hati-hati sembari menatap wajah Zia dengan tatapan penuh tanya.

Zia menggeleng dan menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Semua memang hanya dugaannya saja, tetapi perubahan sikap yang ditunjukkan Artha sudah cukup untuk menjadi bukti kuat bila memang ada alasan di balik sikap kasar dan dingin lelaki itu padanya. Jika bukan orang ketiga, lantas apa yang mengubah cinta di antara mereka.

"Udah, kamu enggak usah pikir yang macam-macam. Dia mungkin lagi banyak kerjaan di kantor. Bagaimanapun dia anak tunggal di keluarganya, papanya sudah meninggal dan dia harus mengambil semua tanggung jawab." Ayana tersenyum menenangkan sembari mengusap punggung tangan Zia. "Aku rasa kamu terlalu memendam diri dirumah. Kapan terakhir kali kamu shopping atau liburan?"

Zia berpikir sejenak. "Kayaknya aku udah enggak pernah keluar sejak papa mertua aku meninggal." Mata Ayana melotot tak percaya, "Aku takut minta izin ke suami aku. Takutnya dia berpikir aku enggak peduli sama dia. Di saat dia sedang sibuk-sibuknya di kantor dan mungkin masih dalam suasana duka aku malah pergi jalan-jalan."

"Itu cuma pemikiran kamu, Zi. Belum tentu Artha berpikiran yang sama. Lagian itu sudah enam bulan yang lalu."

"Benar, berarti dia hanya sedang mencari-cari alasan untuk terus menjauh."

Ayana menatap sedih sahabatnya dan keheningan pun menjebak mereka selama beberapa saat. "Udah enggak usah terlalu dipikirin. Saat ini kamu benar-benar butuh liburan. Besok aku bawa kamu jalan-jalan. Kita ke mall habis itu ke pantai. Kita enggak bakal pulang sebelum pikiran kamu benar-benar fress kembali," ujarnya seraya menatap sahabatnya penuh harap, sedang Zia tampak tak berminat dengan gagasan sahabatnya itu. Wanita itu menatap sahabatnya nanar sembari menghela napas dengan gusar. Tak mengerti akan hatinya.

"Ayolah, Zi. Ini yang kamu butuhkan." Ayana mecoba menyakinkannya. "Kamu perlu udara bebas, keramaian, melakukan hal-hal yang kamu suka. Artha mungkin merasa bosan karena kehilangan sosok kamu yang menyenangkan. Ingat alasan dia jatuh hati ke kamu waktu itu."

Ucapan Ayana sukses membuat Zia membeku. Sebagaian dirinya menyetujui hal itu. Sejak, dia menikah, Zia memang terlalu sibuk menyenangkan suaminya dan menjadi istri terbaik untuk suaminya itu. Dia tidak melakukan apapun selain apa yang disenangi Artha dan keluarga pria itu. Hingga dirinya melupakan sosoknya yang dulu ceria dan selalu bahagia.

Air mata Zia jatuh begitu saja tanpa ia sadari. Pernikahan ini yang seharusnya membuatnya merasa lengkap dan juga bahagia justru membuatnya melupakan banyak hal. Bukan bahagia melankan rasa kesepian dan tak diinginkan. Mungkin Ayana benar. Semua ini hanya kebosanan sesaat karena ia tak lagi menjadi dirinya yang dulu.

Zia menolah ke arah sahabatnya yang tengah tersenyum untuk kesekian kalinya. Wajah penuh harap dari Ayana berhasil menyihirnya untuk menyetujui ajakan sahabatnya itu. Akhirnya Zia pun mengangguk setuju membuat Ayana tersenyum sumringah. Keduanya lalu melanjutkan makan yang sempat terhenti. Ayana mengucapkan sederet tempat yang akan menjadi pilihan liburan mereka besok dengan antusias, sedang otak Zia seakan tak bisa digunakan dengan baik. Telingannya mendadak kehilangan fungsinya. Malam ini dia harus megumpulkan segala keberaniannya untuk berbicara lagi dengan Artha.

To Be Continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Until MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang