𓆩✩03. Si Paling Sabar

595 48 2
                                    

Sean membaca nama anggota yang ada di kertas. "Yohan, Jonathan, Dika, sama Chandra?!"

Yohan mengangguk. Setelah itu, dia kembali menjatuhkan sebelah pipinya ke meja. Hanya dalam hitungan detik saja, Yohan sudah mengarungi lautan mimpi. Dia membiarkan Sean terdiam, dengan kedua mata memelotot.

"Jonathan? Pantesan aja, dia gak mau sekelompok sama gue. Ternyata ngincer Jonathan, si Tukang utak-atik barang," gumam Sean.

Sean menggeleng-gelengkan kepala. Baru kemudian membaca nama murid yang satu kelompok dengannya. Setelah itu, Sean mendengkus, dia menyangga pipi dengan salah satu tangan. Mata bulatnya tertuju pada Yohan yang tertidur di samping kursinya.

Ketika sedang menutup mata, Yohan tampak tenang. Kedua matanya tertutup rapat, dengan bibir yang ikut menutup. Bila dilihat sekilas tak akan ada yang sadar, jika di balik ketenangan itu terdapat ambisi yang membara untuk menang.

Sudah sejak kecil, Sean berteman dengan Yohan. Keduanya memang sama-sama memiliki ambisi yang besar untuk menang. Namun, Yohan satu tingkat lebih tinggi dibanding Sean.

Pada akhirnya Sean mengalah, dan mengeluarkan napas panjang. "Giliran kelompok pelajaran olahraga aja, nyari-nyari gue. Sekarang, pas KWU nyari si Jonathan. Liat aja, kalo nanti mau sekelompok sama gue lagi, gak bakal gue masukin ke kelompok gue," peringat Sean.

Ucapan Sean terdengar oleh Dika. Dika tertawa kecil, bersama Jonathan. Keduanya berada tepat di belakang meja Sean dan Yohan, jadi Dika bisa mendengar semua yang Sean katakan.

Dika menyindir, "Katanya gak boleh berantem, harus akur sama temen sekelas."

Jonathan menimpali, "Yang sabar, hidup emang gak selalu mulus."

Sean melirik ke belakang. Dia menatap Dika dengan tatapan tajam. Setelah itu, Sean melirik ke samping Dika. Tepat di sana terdapat Jonathan yang tersenyum tanpa dosa. Pemuda itu masih setia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Baru kemudian tertawa bersama Dika, melihat tatapan Sean terarah padanya.

"Berenti ketawa, ini gak lucu," peringat Sean.

Keduanya berhenti tertawa. Namun, Jonathan masih tersenyum. Berbeda lagi dengan Dika yang memalingkan wajah ke arah lain. Dika diam-diam berbisik pada Jonathan, "Padahal kita cuman ngetawain video lucu di ponsel lo, tapi dia pikir kita ngetawain dia."

"Maklum aja, kesabarannya kan udah kayak tisu dibagi tiga belas. Dia emang gampang marah," balas Jonathan dengan suara lirih.

Sean tiba-tiba menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Dia berkata pada Dika, "Lo mau gantian kelompok gak, sama gue?"

Tawaran yang diberikan Sean langsung membuat Dika menggelengkan kepala. Dia mendekat pada Jonathan, kemudian berucap, "Kami berdua udah sepaket. Gak bisa dipisahin. Kalo lo mau tuker, tukeran aja sama Chandra tuh. Biasanya Chandra gak suka, deket-deket sama Yohan."

Tanpa membujuk dua kali, Sean langsung berdiri dari kursinya. Pemuda itu melangkah menuju kursi Chandra, sementara Dika menarik dan mengeluarkan napas panjang. Dia berkata, "Segitunya dia mau sekelompok sama Yohan. Padahal kerja sama bareng Yohan itu gak mudah."

"Yohan tipe orang yang keliatan nyantai, tapi pas kerja, dia keliatan ambis banget. Kalo mau sekelompok sama dia, kita harus siap kerja seharian," lanjut Dika.

Jonathan diam-diam menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Dia melihat Sean sudah sampai di meja Chandra, kemudian membujuk Chandra untuk bertukar tempat. Dia membalas ucapan Dika, "Mereka sama-sama ambis. Jadi gak heran, kalo Sean mau sekelompok sama Yohan."

Dika menjatuhkan pipinya ke meja. Dia mengeluarkan napas panjang, kemudian melihat ke arah Jonathan. "Lo juga sama-sama ambis kan? Kenapa sekarang keliatannya tenang-tenang aja?"

"Dulu gue emang ambis, tapi setelah temenan sama lo, gue jadi tahu kalo nikmatin proses sambil ketawa-ketawa itu lebih seru," ucap Jonathan.

"Mau menang atau kalah, itu bukan masalah penting. Yang penting itu berhasil nyelesain tugas, dan nikmatin prosesnya," lanjut Jonathan.

Dika menggeleng-gelengkan kepala. Dia kemudian bertanya, "Emangnya lo gak mau menang?"

"Enggak juga. Kalo menang ya syukur, kalo enggak, ya gak papa. Yang penting gue seneng aja," balas Jonathan.

Ucapan Jonathan membuat Dika tersenyum. Pergaulan mempengaruhi sikap seseorang. Dika kemudian mengambil ponselnya dan ponsel milik Jonathan. Dia mengajak, "Ayo main game online lagi. Yang kalah harus neraktir di kantin."

Tawaran Dika membuat Jonathan mengangguk, dan mengambil ponselnya lagi. "Siapa takut."

Sayangnya, sebelum Jonathan dan Dika bermain. Keduanya dikejutkan oleh teman sekelas mereka, yang baru saja masuk ke kelas. Dika memelototkan mata, kemudian berkata, "Astaga Juna! Kenapa lo bawa semua anak-anak lo ke kelas ini?! Mau sekolah, apa ngurus anak?!"

𖤐𖤐𖤐

𖤐𖤐𖤐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ASH [Flash Fiction] #SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang