Haikal menaruh telapak tangannya di kening Zidan. Dia menyingkirkan poni Zidan, sembari berkomat-kamit, dengan mata menutup. Haikal bertanya, "Lo kerasukan set*n mana? Apa temennya si Wildan ngerasukin lo?"
Zidan berdecak kemudian menyingkirkan telapak tangan Haikal dari keningnya. Kelopak mata Zidan terbuka lebar, sampai akhirnya Haikal menjauhkan langkahnya beberapa kali. "Iya, iya, gue gak bakal deket-deket. Tapi gue penasaran banget, Zi! Lo serius mau sekelompok sama mereka?!"
"Iya." Zidan menyilangkan tangan di depan dada, sementara Haikal menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Seluruh tubuh Haikal mendadak bergetar takut. Dia menelan ludahnya sendiri, sembari melihat ke arah Wildan dan Marvin.
"Zi, jangan bercanda! Ini gak lucu! Lo juga tahu kan, kalo gue mau ngikut sekelompok sama lo. Tapi gue gak mau sekelompok sama mereka," jelas Haikal.
Zidan tahu apa masalah Haikal pada Wildan, hanya dengan suaranya yang sedikit bergetar. Langsung saja, Zidan menjelaskan, "Pembagian kelompok udah dibuat sama Yohan. Kita juga gak bisa protes, karena itu artinya harus bikin ulang jadwal. Dan Yohan gak suka revisian."
Haikal segera menggelengkan kepala. Dia melihat ke arah meja Sean dan Yohan, kemudian berkata, "Si Sean aja bisa sekelompok sama Yohan, padahal tadinya mereka gak sekelompok!"
Zidan merotasikan bola matanya. Setelah itu, dia membalas, "Itu karena si Sean tukeran sama si Chandra. Berhubung, si Chandra setuju, akhirnya si Sean satu kelompok sama Yohan."
Penjelasan yang dibuat Zidan membuat Haikal meneguk ludahnya sendiri. "Karena gue sekelompok sama orang yang dijauhi di kelas, bakalan sudah nyari orang yang mau tukeran kelompok. Siapa juga yang mau temenan sama anak---"
"Haikal, lo percaya sama gosip orang lain, tanpa ada bukti sedikit pun?" tanya Zidan.
Haikal menjawab, "Itu... gue... gue..."
Zidan menepuk jidat. "Aneh. Giliran ngadepin musuh taekwondo buat kejuaraan aja, dihadapin kayak maung. Giliran gosipan gak terbukti, lo hadepin kayak kucing ketakutan."
"Wildan itu baik," ucap Zidan.
Haikal bertanya, "Dari mana lo tau itu?"
Zidan terduduk, dan mengambil buku kas kelas. Sebagai satu-satunya cowok yang memegang buku kas di sekolah ini, Zidan berkata, "Wildan selalu tepat waktu bayar uang kas, gak kayak lo.... Lo nunggak dua minggu gak bayar kas."
Setelah itu, Haikal langsung tersenyum kikuk. Dia duduk kembali di kursi miliknya, kemudian berkata, "Ya ampun, Zi. Pake diingetin segala lagi. Tenang aja, nanti pas gue menang lomba, gue bayar semuanya, ya."
Lagi-lagi Haikal mengucapkan janji yang entah kapan akan terpenuhi. Lalu Zidan sendiri hanya bisa menarik dan mengeluarkan napas panjang. "Giliran beli pena, gak sayang ngeluarin banyak duit. Lah ini? Cuman bayar duit kas yang gak seberapa aja, pake nunggak segala."
Jari jemari Zidan membuka satu persatu lembar laporan kas di kelasnya. Sebenarnya, Zidan kurang suka dibebani dengan uang milik orang lain, yang harus dia simpan. Karena jika uang itu hilang, pasti Zidan yang akan disuruh untuk menggantikannya.
Namun, semua orang mempercayakan penagihan uang kas ini pada Zidan. Karena selain terkenal hemat, Zidan juga tak ragu menagih uang kas.
Mungkin beberapa orang yang pertama kali melihat Zidan, akan menganggap Zidan pendiam dan tak banyak tingkah. Lalu tubuh pendeknya---yang tenggelam di antara tingginya teman-teman sekelasnya---membuat Zidan terkadang jadi sasaran pembulian.
Sayangnya penglihatan itu tak benar. Karena jika Zidan sudah membawa buku kasnya, jiwa premannya bisa saja bangkit. Ketika jam kosong tiba, Zidan langsung berteriak di tengah kelas, dengan sebuah penggaris di tangan. "Yang belum bayar uang kas minggu ini.... Dika! Senja! Mahesa! sama Marvin! Kalo lu semua gak mau bayar uang kas, gue coret namanya dari absen kelas ini! Atau gue sita alat-alat sekolahnya!"
Dika yang dipanggil tersentak kaget. Dia langsung menyipitkan matanya, kemudian mengeluh, "Ini salah satu bentuk ketidakadilan bagi seluruh rakyat sebelas IPS-7!"
"Kok, lo gak ngumumin nama si Haikal juga? Dia kan yang paling banyak nunggak!" keluh Dika.
Zidan menjawab, "Dia udah dari tadi gue tagih."
Dika tersenyum kecut, kemudian mengajukan protes, "Mentang-mentang temen yang paling deket, bisa-bisanya gak dipermaluin di depan kelas juga!"
"Enak, ya! Aibnya disembunyiin orang dalem," sindir Dika pada Haikal.
Zidan langsung mengarahkan sebuah penggaris pada leher Dika. Matanya menyipit, dan mengancam, "Gak usah nyari gara-gara lo, bayar cepet. Tagihan lo yang paling membengkak!"
Penggaris Zidan berkilat di bawah cahaya lampu. Dika tersenyum kikuk, kemudian menjauhkan penggarisnya dari lehernya. "Santai, Bro. Duit gue... duit gue... udah abis. Tadi pas istirahat udah gue jajanin semuanya. Besok lagi, bisa kan, ya?"
"Please," gumam Dika dengan mata berbinar-binar, dengan kedua tangan bersatu di depan dada.
Zidan tak menurut. Dia berniat mengambil dompet Dika, meskipun pada akhirnya selembar uang merah dijulurkan pada Zidan. Sang pelaku yang menjulurkan uang tersenyum tipis, sembari berkata, "Nih. Ambil semuanya. Gue lunasin. Sekalian, kembaliannya buat temen-temen lain."
Dika melirik ke samping, lebih tepatnya pada Jonathan yang tersenyum lebar. Meskipun Dika tahu, Jonathan kaya raya, dan tak sayang pada semua uang-uangnya. Tetap saja, Jonathan merupakan ladang uang, yang Dika hargai sepenuh hati. "Thank you, Bro," gumam Dika meniru ucapan bahasa inggris Jonathan.
Jonathan tertawa kecil, kemudian merangkul leher Dika. "Sans aja. Apa sih yang enggak buat sodara gue."
Zidan hanya bisa menarik dan mengeluarkan napas panjang. Sesuai permintaan Jonathan, dia akhirnya juga melunasi satu persatu uang kas anak-anak yang belum bayar. Namun, Zidan berhenti menulis ketika Wildan juga menjulurkan satu lembaran uang berwarna merah. "Kenapa lo mau bayar juga? Bukannya lo udah lunas, Wil?"
Wildan membenarkan kacamatanya yang merosot, dia kemudian duduk di kursinya dan berkata, "Bukan, buat gue. Tapi buat temen-temen yang belum bayar."
Zidan mengangguk mengerti. Dia kemudian berkata, "Orang-orang bener-bener salah sangka sama lo, Wil. Kenapa lo gak coba buat jelasin ke mereka, kalo lo itu---"
Belum sempat Zidan mengakhiri ucapannya, Wildan sudah lebih dulu membuka lembaran bukunya. Tanpa melirik ke arah Zidan, Wildan tersenyum tipis. Dia berkata, "Uang itu dari Tuyul gue."
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
ASH [Flash Fiction] #Seventeen
Fiksi Remaja"Jika usia kalian menginjak tujuh belas tahun, apa yang akan kalian lakukan?" Semua murid kelas 11- IPS 7 kompak menjawab, "Bersenang-senang, karena hidup cuman sekali." Namun, apakah mereka masih bisa bersenang-senang, ketika masa depan kelabu sed...