𓆩✩04. Si Paling Manja

407 53 8
                                    

Tepat di depan mata Jonathan dan Dika, seorang pemuda berambut pirang masuk ke kelas dengan menggendong kucing. Kucing dalam gendongannya berwarna oranye, dengan ukuran yang cukup besar. Sementara di bawah kaki orang itu, terdapat dua ekor kucing bermotif sapi, yang membuntutinya.

"Juna! Ngapain lo bawa anak-anak lo ke kelas?" tanya Jonathan.

Juna berhenti berjalan. Pemuda dengan tahi lalat kecil di atas bibir itu malah mengangkat sudut bibirnya ke atas. Dia menunjukkan kucing besarnya ke depan Jonathan, kemudian memberitahu, "Di rumah gue gak ada siapa-siapa. Tadi, Bibi yang kerja di rumah gue juga bilang, kalo dia mau mudik dulu karena ibunya sakit."

"Lalu kucing gue? Kucing gue gak ada yang jagain. Jadi gue bawa ke sini," kata Juna.

Jonathan dan Dika menggeleng-gelengkan kepala, melihat tingkah Juna. Mereka tak ingin mengurusi urusan Juna lebih jauh. Karena Juna adalah saudara dari pemilik sekolah, yang terkenal sangat dekat dengannya. "Enak ya, punya sodara orang dalem. Rambut pirang nyalahin aturan sekolah aja, masih diizinin ke sekolah, pake embel-embel ortu si Juna orang luar negeri," kata Dika pada Jonathan.

Jonathan lebih memilih untuk melanjutkan permainannya, sementara Juna berjalan riang menuju mejanya. Pemuda itu berniat memberi makan satu persatu kucing miliknya. Namun, sebelum Juna duduk di kursinya, seorang pemuda bermata runcing sudah lebih dulu menaruh telapak tangannya di atas kursi Juna.

Pemuda dengan papan nama Mahesa itu, fokus membaca bukunya. Sementara bibirnya berkata, "Jangan berani duduk di samping gue, apalagi bawa kumpulan bola bulu itu ke sini."

Juna terdiam, dengan tangan mengusap bulu kucing miliknya. Dia berkata, sembari menusuk-nusuk perut kucing miliknya. "Sa, kasihan loh kucing gue ini. Liat, perutnya jadi kempes gara-gara belum dikasih makan."

Mahesa menaruh bukunya di meja. Dia menatap tajam ke arah Juna, sembari memperingati, "Gue bilang jangan ke sini, ya, jangan ke sini! Ini tempatnya belajar, bukan ngasih makan kucing!"

Pada akhirnya, Juna mengangguk dan membawa segerombolan kucing miliknya keluar kelas. Pemuda itu sengaja memberi makan kucing-kucing miliknya di sana. Baru kemudian memutuskan untuk menitipkan ketiga kucingnya pada pemilik kantin. Sementara Juna sendiri, membeli banyak makanan untuk dibagikan bersama teman-teman sekelasnya.

"Asik, si Juna bagi-bagi makanan gratis lagi. Thanks, Bro," ucap Haikal sembari mengambil setengah makanan yang Juna bawa. Selain untuk dirinya sendiri, Haikal juga menyisihkan makanannya, untuk Zidan; teman sebangkunya.

Walaupun Juna dikenal sebagai si Manja, yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkan. Namun, semua murid senang berteman dengan Juna. Selain lembut dan berhobi mentraktir, Juna juga disenangi karena murah senyum. Semua itu, berbanding terbalik dengan Mahesa; teman sebangku Juna.

Keduanya memiliki sifat yang jauh berbeda. Juna senang berdekatan dengan siapa pun juga, berbeda lagi dengan Mahesa yang hanya berdekatan dengan orang-orang yang membuatnya nyaman saja. Lalu Juna? Juna termasuk ke dalam daftar orang yang Mahesa tidak sukai. Keduanya bisa jadi teman satu meja, karena keduanya telat datang di hari pemilihan meja.

Ketika Juna dipuji-puji, Mahesa menyindir, "Udah manja, caper lagi. Mentang-mentang anak orang kaya, seneng banget hambur-hamburin duit buat pamer. Sementara orang tuanya sibuk kerja."

Juna yang sedang berjalan ke kursinya mendengar apa yang Mahesa katakan. Namun, sindiran itu malah membuat Juna tersenyum, kemudian duduk di kursinya sembari membuka bungkus roti. Juna meluruskan, "Orang tua gue udah meninggal. Dan gue gak pernah nyia-nyian duit peninggalan mereka cuman buat poya-poya."

Perkataan Juna langsung membuat Mahesa mematung, tanpa suara. Pemuda itu memelototkan mata, tanpa melihat ke arah Juna. Selanjutnya, Juna menyambung, "Selama ini, gue kerja keras jadi Reseller toko online, atau sesekali nerima endorse dari sosmed."

"Dan perkara makanan yang sering gue bagiin itu, gue bagiinnya secara ikhlas. Karena banyak dari temen-temen di kelas kita, yang jarang dikasih uang saku banyak dari ortunya."

"Gue cuman mau buat semuanya kebagian hasil yang gue dapet."

"Ada yang bilang, kalo kita ngasih ke orang lain. Tuhan, bakal bales kita dengan yang lebih besar lagi," lanjut Juna dengan senyuman lebar.

Pada akhirnya, Juna melanjutkan mengunyah makanannya, dengan tangan yang menjulurkan salah satu bungkus roti ke depan Mahesa. Selama ini, Mahesa selalu menolak roti dari Juna. Namun kali ini, Mahesa tiba-tiba merasa bersalah. "Maaf. Gue gak tahu. Lo gak pernah cerita soal ini ke gue."

Juna tertawa kecil, kemudian memberitahu, "Semua temen sekelas udah tahu soal ini, cuman lo aja yang gak pernah gabung saat kita semua cerita bareng."

"Jangankan dengerin cerita gue, lo bahkan gak mau deket-deket gue," lanjut Juna sembari mengunyah rotinya.

Mahesa mengambil roti yang Juna berikan. Dia semakin menurunkan sudut bibirnya, tapi Juna menelan rotinya, kemudian bertanya, "Lo nerima roti dari gue? Itu artinya, lo mau jadi temen gue?"

Bukannya menjawab, Mahesa malah memberikan Juna sapu tangan. Pemuda itu memalingkan wajahnya ke arah lain, kemudian menjawab dengan ketus, "Makan roti, tapi isian cokelatnya belepotan di wajah. Ambil ini, lalu bersihin sendiri."

Juna tak peduli pada noda di wajahnya. Pemuda itu malah melebarkan senyumannya, kemudian bertanya, "Jawab dulu pertanyaan gue. Kita sekarang temenan, kan?"

𖤐𖤐𖤐

ASH [Flash Fiction] #SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang