𓆩✩02. Si Paling Ambis

473 64 4
                                    

"Woy! Kalo mau ngajakin berantem, jangan main keroyokan! Satu lawan satu, kalo berani!" teriak Sean. Cowok pemilik mata besar itu semakin memelototkan mata. Dia tak terima, melihat kedua lengan salah satu temannya, ditahan oleh beberapa orang.

Selain itu, ada juga orang yang tengah bersiap-siap mengepalkan kedua tangannya. Dia berniat memukul cowok berwajah pucat, yang dipegangi teman sekelasnya. Namun sebelum kepalan tangannya mendarat, Sean sudah lebih dulu menarik kerah seragam cowok itu. "Kalo lo laki, main yang adil dong! Pengecut lo!

Belum sempat Sean memukul orang yang ada di hadapannya. Cowok berwajah pucat; pemilik nama Yohan mendengkus. Dia menghempaskan tangan orang-orang yang menahan lengannya. Baru kemudian menggerutu, "Cut! Cut! Cut! Udahan aja syutingnya! Gue males rekaman berulang kali, tapi gak ada satu pun hasil yang bener! Dari tadi ada aja masalah!"

"Kamera burem, kecoa terbang, kaki gue digigit semut lagi! Mendingan kalian cari orang lain aja! Gue gak punya waktu buat buang-buang waktu di sini! Minggir, gue mau masuk kelas!" perintah Yohan.

Yohan pergi tanpa persetujuan dari kelas 11-IPA 5. Semua cowok itu menurunkan sudut bibirnya kemudian melihat ke arah Sean, dengan tatapan tak bersahabat. Berbeda lagi dengan Sean yang mengernyitkan kening, melihat punggung Yohan menjauh darinya. Sean bertanya, "Apa maksudnya ini?"

Semua cowok kelas 11-IPA 5 menunjuk ke kamera yang berada tak jauh dari mereka. "Kami semua mau syuting, buat menuhin tugas bikin drama. Kebetulan, kami butuh murid kelas lain yang jago akting, buat dijadiin tokoh sampingan yang meranin korban buli."

"Kami udah susah payah bujuk Yohan, lalu sekarang? Yohan gak mau ikutan syuting lagi!"

Sean membalas, "Mana gue tahu, kalian lagi syuting! Lagian kata si Senja, kalian mau ngajak Yohan berantem!" Belum sempat Sean menjelaskan lebih lengkap, Senja sudah lebih dulu berlari menuju kelas.

"Gue, gue gak tahu kalo kalian lagi syuting! Maaf!" teriak Senja tanpa menghentikan larinya.

Pada akhirnya Sean menarik dan mengeluarkan napas panjang. Dia tahu niat Senja baik, tapi informasi yang dia dapatkan tidaklah benar. Mau tak mau, Sean menarik kedua sudut bibirnya ke arah semua murid kelas 11-IPA 5. Ini akibatnya, karena langsung bertindak tanpa melihat situasinya lebih dulu. "Maaf."

"Tanggung jawab lu! Gantiin Yohan jadi korban buli!" perintah ketua kelas 11-IPA 5.

𖤐𖤐𖤐

Sebelum lonceng masuk kelas berbunyi, Sean menghabiskan waktunya menggantikan peran Yohan. Sementara Yohan sendiri, memakai waktunya untuk tidur di kursi, dengan tasnya yang dijadikan sebagai bantal. Kelopak mata Yohan terpejam rapat. Dia tak terganggu sedikit pun, ketika para temannya memperebutkan buku tugas miliknya.

Datang ke sekolah, duduk, mendengarkan penjelasan guru, bertanya, bermain bersama teman-teman, hal itu sudah menjadi alur kebiasaan Yohan. Namun, akhir-akhir ini Yohan merasa bosan dengan kehidupannya. Dia anak yang terlahir dari keluarga mampu. Semua keinginannya bisa didapatkan dalam sekali permintaan. Hal itu membuat Yohan malas, karena dia tak perlu bersusah payah untuk mengejar apa yang dia inginkan.

"Apa tujuan hidup gue?"

Yohan menguap, kemudian menyangga pipi kanan dengan salah satu tangannya. Dia mendengarkan guru kewirausahaan sedang menerangkan, kemudian membicarakan tugas kelompok, "Manfaatkan barang bekas untuk dijadikan sebagai kerajinan tangan, yang bisa kalian jual. Selain membuat kerajinan, kalian juga harus menentukan harga jual dari kerajinan yang kalian buat."

Awalnya Yohan tak tertarik dengan tugas yang diberikan guru kewirausahaannya. Lagi pula, Yohan bisa saja membayar orang lain untuk mengerjakan tugasnya. Namun, sang ibu guru melanjut, "Jangan lupa, ketika membuat kerajinan tangan itu, kalian harus memvideokannya. Ibu tidak mau, ada orang yang tidak bekerja dalam kelompok."

"Oh iya, satu lagi. Kelompok yang mengerjakan kerajinan terbaik, akan ibu beri hadiah," lanjut guru itu.

Kata hadiah masuk ke telinga Yohan. Yohan mungkin dijuluki pemalas, tapi jika ini berhubungan dengan kompetensi dan hadiah, Yohan selalu bersemangat. Karena hanya dengan kompetensi saja, Yohan tak mendapatkan apa yang dia inginkan begitu saja. "Menang, kalah itu biasa dalam persaingan, tapi gue tetep mau menang."

𖤐𖤐𖤐

Kelompok kewirausahaan terdiri dari empat orang saja. Bu guru yang memberikan tugas, menyerahkan pembagian kelompok pada siswa. Karena Sean baru selesai syuting, dia tak tahu siapa yang ditugaskan untuk membagikan kelompok. "Kok gue gak sekelompok sama Yohan?!" tanya Sean.

"Pokoknya gue gak mau tau, cepet ganti kelompoknya! Gue mau sekelompok sama Yohan!" desak Sean.

Dika yang ada di belakang kursi Sean, mengingatkan, "Idih, katanya gak boleh main sirkel-sirkelan, tapi tiap kerja kelompok pasti sama Yohan terus."

"Urusan pertemanan sama nilai itu beda! Lo emangnya mau tanggung jawab, kalo nilai gue di bawah rata-rata?! Cepet ganti!" gerutu Sean.

Sean mendengkus, sembari meremas kertas bertuliskan nama anggota kelompok. "Siapa sih yang ditugasin bagi-bagiin kelompok seenak jidat?!"

Yohan yang duduk di samping Sean, membalas, "Gue."

"Cepet ganti!" desak Sean.

"Gak bisa," tolak Yohan.

"Kenapa?" tanya Sean.

"Males revisi," jawab Yohan. Yohan menguap, kemudian menjatuhkan pipinya ke meja lagi. Dia melanjut, "Lagi pula, gue udah punya anggota kelompok yang rajin-rajin."

Sean memelototkan mata. Dia kemudian melihat ke kertas pembagian kelompok yang dia pegang. Sean membaca satu persatu nama anggota. Mata besarnya memelotot, melihat nama anggota yang ada di kelompok Yohan.

"Pokoknya kelompok gue harus jadi kelompok terbaik. Gimana pun caranya," peringat Yohan.

𖤐𖤐𖤐

ASH [Flash Fiction] #SeventeenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang